Oleh: Zulfikri Hasan Mahasiswa hukum UMMU
Opini, Wartarepublik.com - Beberapa hari terakhir, kembali publik dikejutkan dengan isu-isu yang beredar terkait pertentangan antara putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang menguji pasal 28 ayat 3 Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 tentang kepolisian yang di bacakan pada tanggal 14 november 2025 dengan peraturan kepolisian (Perpol) nomor 10 tahun 2025 yang di keluarkan oleh kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pada 9 desember 2025. Lantas, bagaimana cara pemberlakuanya?
Konstruk Negara Hukum:
Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia berbunyi: Negara indonesia adalah negara hukum (Rule of law) dalam konstruk negara hukum moderen di kenal yang namanya supremasi konstitusi (Constitutional Supremacy) dimana ini adalah pilar utama dari negara hukum, prinsip ini menegaskan bahwa konstitusi adalah hukum tertinggi dalam suatu negara dan semua kekuasaan, aturan serta tindakan dalam negara harus dan tidak boleh bertentangan dengan konstitusi, sebagai dasar dari lahirnya semua hukum di suatu negara (Grundnorm) dengan bunyi pasal 1 ayat 3 ini maka Indonesia juga mengamini prinsip ini oleh karena pengakuannya sebagai negara hukum dalam UUD NRI 1945.
Kebijakan hukum terbuka ( Open Legal Policy):
Dalam UUD 1945 pasal 24C ayat 1 menegaskan: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya di berikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Dalam pasal ini terdapat sedikit banyaknya empat kewenangan Mahkamah konstitusi. Namun, yang penulis garis bawahi ada dua. 1). Judicial Review menguji uu terhadap UUD. 2). Putusan mahkamah konstitusi bersifat Final dan mengikat (final and banding) dengan pengertian putusannya tidak bisa dibatalkan, dianulir, atau di tafsir ulang oleh lembaga manapun termaksud Presiden, DPR, Mentri dan apalagi Kaporli.
Sementara pasal 30 ayat 4 negaskan: kepolisian republik indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi,melayani masyarakat, serta menegakan hukum. Yang di atur lebih lanjut dalam uu nomor 2/2002 tentang polri tepatnya pada pasal 8 ayat 1 dengan frasa: kepolisian negara Republik Indonesia dibawah Presiden. Dengan ini jelas bahwa pimpinan tertinggi kepolisian ada Presiden Republik Indonesia.
Fakta Hukum:
Secara normatif telah penulis jelaskan, selanjutnya mari melihat fakta, Mahkamah Konstitusi sebagai “the guardian of the constitutional” telah menguji pasal 28 ayat 3 Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 tentang kepolisian dengan Nomor perkara 114/PUU-XXIII/2025 perlu di ingat bahwa putusan MK tidak merubah pasalnya oleh karena itu adalah tugas dari DPR bersama Presiden melainkan menafsir isi atau makna dari pasal tersebut. Dalam pasal 28 ayat 3 uu nomor 2/2002 pada penjelasannya sebelum di ubah berbunyi “istilah jabatan diluar kepolisian merujuk pada posisi yang tidak terkait dengan tugas kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan penugasan kapolri” jadi yang sebenarnya di uji adalah bukan batang tubuh pasalnya sendiri, melainkan frasa dalam penjelasan pasal 28 ayat 3 (tidak berdasarkan penugasan kapolri). Setealah pengujian di lakukan MK memutuskan menyatakan bahwa frasa :atau tidak berdasarkan penugasan dari kapolri” dalam penjelasan pasal 28 ayat 3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Akibat dari penghapusan itu maka ketentuan penempatan anggota porli aktif di jabatan sipil di luar sktruktur organisasi porli hanya dapat dilakukan apabila anggota porli telah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian, singga tidak ada alasan lagi untuk aparat kepolisian menjabat di jabatan sipil. Keputusan ini berlaku vinal and banding sejak di bacakan pada tanggal 14 november 2025.
Mirisnya, selang waktu tidak begitu lama kepolisian Republik indonesia melalui kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo melalui peraturan kepolisian (Perpol) nomor 10 tahun 2025 yang di tetapkan pada 9 desember 2025 menegaskan aturan internal porli yang membuka kemungkinan menugaskan anggota porli aktif untuk menjabat disejumlah posisi sipil melalui mekanisme tertentu yakni ada 17 kementrian/lembaga tanpa mensyaratkan mundur atau pensiun oleh karena menurutnya polisi termaksud sipil bukan militer. Dengan dihadirkan Perpol maka juga telah melanggar prinsip checks and balance dan menganggap bahwa keputusan MK bisa di tawar-tawar dan bukan kewajiban.
Kesimpulan: Putusan mahkamah konstitusi adalah vinal and banting tidak ada lagi upaya hukum setelah putusan itu di keluarkan dan menjadi rujukan utama bagi pembuatan undang-undang DRP bersama Presiden guna merancang dan merencanakan uu yang terkait dengan putusan MK tersebut, namun, perlu di ingat bahwa putusan MK tidak di benarkan sekali-kali dibatalkan, dianulir, atau di tafsir ulang oleh lembaga manapun termaksud Presiden, DPR, Mentri dan apalagi Kaporli sehingga tidak mengakibatkan terjadinya pembangkangan terhadap konstitusi. adalah sesuatu hal yang sangat memalukan jika ini terjadi dalam konstruk negara hukum, putusan Mahkamah Konstitusi adalah kewajiban hukum yang mengikat untuk semua pihak walaupun kekurangannya memang pada bagian eksekuturnya yang tidak ada, namun, jangan jadikan itu sebagai kesempatan untuk mempermalukan kewibawaan Mahkamah Konstitusi sehingga putusan MK seperti singa yang ompong yang tidak bisa menggigit.
.png)