Aceh, WartaRepublik.com - Dalam menyikapi peringatan Hari Lahan Basah Sedunia, Koalisi Selamatkan Lahan dan Hutan Aceh mengeluarkan pernyataan sikap bersama sebagai respons terhadap ancaman serius terhadap lahan basah di provinsi ini.
Dengan pertumbuhan perkotaan dan peningkatan permintaan lahan, lahan basah semakin menjadi sasaran utama, menghilang tiga kali lebih cepat dibandingkan dengan hutan. Lahan basah bukan hanya penting bagi kesejahteraan manusia, tetapi juga berperan dalam menyediakan air bersih, makanan, dan melindungi dari cuaca ekstrem.
Hari Lahan Basah Sedunia, diperingati setiap tanggal 2 Februari, menjadi momentum untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang peran penting lahan basah. Umat manusia telah bergantung pada lahan basah selama berabad-abad, mendapatkan manfaat berupa makanan, inspirasi, dan ketahanan dari lingkungan ini.
Meskipun demikian, lahan basah terus mengalami degradasi akibat praktik pertanian tidak berkelanjutan, drainase, penimbunan, dan pencemaran plastik. Dr Musonda Mumba, Sekretaris Jenderal Konvensi Lahan Basah, mencatat bahwa tren pemukiman manusia mengancam konservasi dan pemanfaatan lahan basah secara bijaksana.
Di Aceh, laju degradasi lahan basah terjadi lebih cepat dari yang diperkirakan. Kawasan hutan mangrove di Aceh Timur, Langsa, dan Aceh Tamiang terus menyusut karena pengalihan fungsi dan perambahan. Hutan gambut di Nagan Raya dan Abdya dikeringkan untuk pengembangan HGU kelapa sawit, mengancam habitat Orangutan Sumatera.
Danau Lut Tawar di Kabupaten Aceh Tengah menghadapi sejumlah masalah, termasuk menurunnya debit air, kualitas air yang buruk, dan ancaman punahnya ikan depik [Rasbora tawarensis]. Sungai-sungai di Pidie, Aceh Barat, dan Nagan Raya tercemar oleh aktivitas galian dan tambang, menyebabkan kerusakan lahan, pencemaran merkuri, dan meningkatnya penyakit infeksi.
Di Beutong Ateuh Banggalang, perjuangan menolak investasi tambang emas terus berlanjut meskipun putusan Mahkamah Agung telah dikeluarkan. PT. EMM dan PT. BME bahkan masih berencana menggali daerah hutan hujan.
Dari hulu Sungai Tamiang, warga Pining, Gayo Lues, terus berjuang untuk mendapatkan pengakuan hutan adat dari pemerintah. Upaya ini telah dilakukan bertahun-tahun, tetapi penebangan pohon di bantaran Sungai Pining semakin mengancam sumber kehidupan mereka.
Berdasarkan fakta dan tantangan di atas, Koalisi Selamatkan Lahan dan Hutan Aceh mendeklarasikan tiga tuntutan krusial:
1. **Menguatkan peran aparat penegakan hukum** terhadap kejahatan lingkungan dan kehutanan.
2. **Menguatkan peran masyarakat adat** sebagai pemilik dan pengelola hutan yang sah di wilayah masing-masing.
3. **Meningkatkan status konservasi** pada habitat lahan basah di seluruh Aceh.
Koalisi ini mengajak masyarakat untuk bersama-sama menandatangani pernyataan sikap ini, dengan pesan utama: "Lahan dan Hutan untuk Kesejahteraan Manusia, bukan Pemilik Modal." Langkah ini merupakan upaya nyata dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan pada tahun 2030.
Ditandatangani oleh:
1. Aceh Wetland Foundation
2. Yayasan APEL GREEN Aceh
3. LSM Lembaga Advokasi Hutan Lestari (LembahTari)
4. Pemuda Pembela Tanah Rakyat (PAPETRA)
5. Generasi Beutoeng Ateuh Banggalang
6. Gayo Rimba Bersatu
7. LSM Harimau Pining
8. LSM Komunitas Aneuk Nanggroe
9. Yayasan Hutan Hujan Aceh
10. Aceh Mangrove Youth
Narahubung:
- Yusmadi (081269469737)
- Rahmad Syukur (082274106290)
- Said Zainal, S.H. (081397184549)