
Bali, WartaRepublik. Id
Pada Sabtu, 7 Juni 2025, Presiden ke-5 Republik Indonesia sekaligus Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, memberikan sambutan dalam pembukaan pameran foto karya Guntur Soekarnoputra di Galeri Nasional, Jakarta Pusat. Dalam pidato tersebut, Megawati menyampaikan sejumlah pernyataan yang menyinggung minimnya pemahaman sejarah di kalangan masyarakat Indonesia. Ia mengingatkan publik akan pentingnya menghargai perjuangan para pendiri bangsa, terutama Bung Karno dan Bung Hatta. Namun, beberapa pernyataannya menuai reaksi keras dari publik karena dianggap mengandung nada arogansi dan eksklusivisme ideologis.
Salah satu kutipan yang paling kontroversial dalam pidato tersebut adalah: "Ingat, kalau tidak ada yang berani berbicara, yang namanya Proklamasi enggak ada, kalian ini masih jadi budak-budak."
Selain itu, Megawati juga menyatakan: "Kalau kalian adalah Pancasilais, kalau kalian adalah warga negara Indonesia, kalau enggak, please, jangan tinggal di sini. Jadi saja imigran."
Pernyataan-pernyataan ini, alih-alih memicu refleksi kebangsaan yang sehat, justru membuka kembali luka-luka lama dan menyulut pertanyaan kritis tentang batas antara patriotisme, arogansi kekuasaan, dan penghormatan atas keberagaman pengalaman sejarah Indonesia.
*Diksi yang Menghapus Keberagaman Sejarah Lokal*
Menggunakan istilah "budak-budak" dalam konteks retorika kebangsaan bukan hanya kasar, tetapi juga mengabaikan keragaman pengalaman sejarah daerah-daerah di Indonesia. Sebut saja Aceh, sebuah wilayah dengan sejarah perlawanan panjang terhadap penjajahan Belanda. Dalam historiografi lokal dan semangat kolektif masyarakat Aceh, mereka tidak pernah menyerah atau tunduk sebagai "budak" kolonial. Bahkan, Kesultanan Aceh merupakan salah satu kerajaan Islam terkuat di Asia Tenggara pada masanya, dengan jaringan diplomasi yang kuat hingga ke Timur Tengah dan Eropa.
Bagi masyarakat Aceh dan daerah-daerah lain yang memiliki kebanggaan historis terhadap perjuangan mereka sendiri, penyataan Megawati bisa dianggap sebagai bentuk penghapusan sejarah lokal. Ini menunjukkan betapa berbahayanya ketika sejarah nasional diklaim secara tunggal oleh narasi elite politik dan mengabaikan kontribusi kolektif dari masyarakat di berbagai penjuru nusantara.
*Masalah Serius dalam Terminologi "Pancasilais"*
Megawati dalam pidatonya juga melemparkan pernyataan keras: "Kalau kalian adalah Pancasilais... kalau enggak, please, jangan tinggal di sini. Jadi saja imigran."
Pernyataan ini membawa persoalan serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apa sebenarnya definisi "Pancasilais"? Apakah ada ukuran baku untuk menilai seseorang Pancasilais atau tidak? Adakah lembaga independen yang sah dan netral untuk mengukur hal ini secara adil? Atau, apakah istilah ini hanya dijadikan alat retoris untuk meminggirkan kelompok yang berbeda pendapat?
Pancasila adalah ideologi terbuka. Lima sila yang terkandung di dalamnya memiliki ruang tafsir yang luas, mulai dari religiusitas, keadilan sosial, kemanusiaan universal, hingga demokrasi partisipatif. Menilai seseorang tidak Pancasilais hanya karena tidak sejalan dengan narasi elite politik adalah bentuk pengkhianatan terhadap semangat Pancasila itu sendiri. Ironisnya, pernyataan Megawati justru menyalahi nilai-nilai Pancasila yang mengedepankan kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan dalam keragaman, serta musyawarah mufakat.
*Dampak Sosial dan Politik*
Pernyataan Megawati berpotensi memperlebar jurang antara elite politik dan rakyat biasa. Ketika seorang tokoh besar mengatakan "kalian ini masih jadi budak-budak" atau "silakan jadi imigran", ia secara tak langsung menutup ruang dialog. Narasi seperti ini bukan saja tidak produktif, tetapi juga menciptakan iklim ketakutan, seolah-olah nasionalisme hanya milik sebagian orang yang mengklaim diri sebagai pewaris sah sejarah.
Dalam iklim demokrasi yang sehat, perbedaan tafsir terhadap Pancasila, sejarah bangsa, dan arah pembangunan justru harus dirayakan dalam semangat inklusif, bukan dimarjinalkan. Demokrasi tidak akan tumbuh subur dalam atmosfer retorika yang memaksa dan mengusir.
*Sejarah adalah Ruang Refleksi Bersama*
Sejarah adalah ruang kontestasi yang sah. Ia bukan milik keluarga tokoh, bukan milik partai, apalagi hanya milik narasi pemenang. Sejarah adalah milik rakyat, dan tugas bangsa hari ini adalah menjaga agar sejarah tetap menjadi ruang refleksi kritis, bukan ruang pemaksaan dan penghakiman.
Sebagai anak proklamator, Megawati tentu memiliki kedekatan emosional yang kuat terhadap sejarah kemerdekaan. Namun justru karena itu, ia seharusnya menjadi jembatan yang menghubungkan semangat masa lalu dengan tantangan masa kini, bukan benteng yang menyekat antara "yang layak" dan "tidak layak" menjadi warga Indonesia.
*Bangsa Ini Tidak Dibangun oleh Satu Nama Saja*
Bangsa Indonesia dibangun oleh jutaan tangan dan suara. Dari petani yang memberi makan para pejuang, guru yang mengajarkan makna kemerdekaan, ibu rumah tangga yang menjaga rumah saat para suami angkat senjata, hingga santri, pemuda adat, dan aktivis dari berbagai daerah. Semua memiliki andil. Semua layak dihormati.
Pidato seorang negarawan seharusnya memperkuat semangat itu, bukan memonopolinya. Ketika sejarah dijadikan alat pemaksa, ia berhenti menjadi sumber kebijaksanaan dan berubah menjadi sumber perpecahan.
Saatnya tokoh-tokoh bangsa lebih bijak dalam memilih kata, karena sejarah bangsa ini terlalu
agung untuk disempitkan oleh emosi sesaat.

Butet