Fenomena Bos Digantikan AI: Apakah Bisa Diterapkan di Sektor Publik? -->

Header Menu


Fenomena Bos Digantikan AI: Apakah Bisa Diterapkan di Sektor Publik?

Wednesday, 27 November 2024


Oleh : M Al Husaini

Praktisi Digital dan Transformasi AI Sektor Publik/Tenaga Ahli DPR RI


Fenomena Bos Digantikan AI: Apakah Bisa Diterapkan di Sektor Publik?

Infopers.com - Di era digital saat ini, banyak perusahaan mulai mempertimbangkan penggunaan kecerdasan buatan (AI) untuk menggantikan posisi-posisi penting, termasuk jabatan CEO. Penunjukan Tang Yu sebagai CEO AI pertama oleh NetDragon Websoft menjadi contoh nyata dari fenomena ini. Namun, pertanyaannya adalah: apakah konsep ini dapat diterapkan di sektor publik, terutama dalam konteks pegawai negeri sipil di Indonesia?

Integritas Data dan Privasi Data

Salah satu tantangan utama dalam penerapan AI di sektor publik adalah menjaga integritas data dan privasi data Data yang digunakan oleh AI harus akurat dan aman untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil tidak hanya efektif tetapi juga etis. Di Indonesia, perlindungan data pribadi diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Undang-undang ini menegaskan bahwa setiap individu berhak atas perlindungan data pribadi dan mengatur berbagai aspek terkait pemrosesan data, termasuk kewajiban pengendali data serta sanksi bagi pelanggaran. Dengan adanya regulasi ini, penting bagi pemerintah untuk menerapkan praktik terbaik dalam pengelolaan data agar tidak melanggar hak-hak individu.

Pengangguran dan Dampaknya

Meskipun penggunaan AI dapat meningkatkan efisiensi operasional, ada kekhawatiran bahwa otomatisasi dapat menyebabkan pengangguran. Sebuah studi menunjukkan bahwa hingga 49% pekerja percaya bahwa keterampilan mereka akan menjadi tidak relevan dalam waktu dekat. Dalam konteks Indonesia, hal ini berpotensi memperburuk masalah ketenagakerjaan, terutama bagi pegawai negeri sipil yang mungkin harus bersaing dengan teknologi canggih.


Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

Penerapan AI di sektor publik juga dapat memengaruhi Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, IPM Indonesia mencapai 75,02, meningkat 0,85% dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 74,39. Pertumbuhan ini menunjukkan adanya peningkatan kualitas hidup yang lebih baik di Indonesia. IPM dihitung berdasarkan tiga dimensi utama: umur harapan hidup (74,15 tahun), rata-rata lama sekolah (8,85 tahun), dan pengeluaran riil per kapita sebesar Rp 12.341.000 per tahun. Jika pemerintah berhasil mengintegrasikan AI secara efektif, hal ini dapat meningkatkan kinerja layanan publik dan transparansi, yang pada gilirannya berkontribusi pada peningkatan IPM.

 

Kemungkinan Robot AI Bekerja di Sektor Publik

Dengan semua pertimbangan di atas, apakah memungkinkan bagi robot AI untuk bekerja di sektor publik dan meningkatkan performa pemerintah? Penelitian menunjukkan bahwa AI dapat mengotomatisasi hingga sepertiga dari tugas harian di sektor publik, seperti manajemen catatan dan pemrosesan data. Ini tidak hanya akan meningkatkan efisiensi tetapi juga memungkinkan pegawai negeri sipil untuk fokus pada tugas-tugas yang lebih strategis dan interaktif dengan masyarakat.

Namun, penting untuk memastikan bahwa penerapan teknologi ini dilakukan dengan cara yang etis dan bertanggung jawab. Keterlibatan profesional privasi dalam struktur tata kelola AI sangat penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat. Dengan pendekatan yang hati-hati dan terencana, penggunaan AI dalam sektor publik bisa menjadi langkah maju yang signifikan bagi pemerintahan Indonesia.

Sebagai contoh konkret, baru-baru ini NetDragon Websoft melaporkan bahwa sejak penunjukan Tang Yu sebagai CEO pada Agustus 2022, nilai saham perusahaan meningkat sekitar 10%, dengan kapitalisasi pasar mencapai  HK$9 miliar (sekitar $1,1 miliar). Tang Yu telah memproses lebih dari 300.000 formulir persetujuan dan mengeluarkan hampir 500.000 pengingat tugas setiap tahun. Ini menunjukkan bagaimana AI dapat berkontribusi pada efisiensi operasional yang signifikan.

Di Indonesia, penerapan AI dalam layanan publik dikenal sebagai e-government dan diprediksi dapat memberikan kontribusi sebesar $366 miliar terhadap PDB negara pada tahun 2030. Pemanfaatan AI diprediksi bakal mendongkrak kinerja sektor publik sehingga mendorong perekonomian nasional. Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika menyatakan bahwa adopsi AI memungkinkan alur birokrasi menjadi lebih efisien serta meningkatkan kinerja pemerintah dan kepuasan publik. Firma konsultasi manajemen Kearney bahkan menyebut penggunaan AI berpotensi menyumbang hampir US$1 triliun produk domestik bruto (PDB) Asia Tenggara pada 2030.

Contoh penerapan teknologi AI juga terlihat di Kota Yogyakarta, di mana Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) telah mengadopsi ChatGPT untuk meningkatkan pelayanan publik. Dengan memanfaatkan teknologi ini, pegawai dapat dengan cepat mengakses informasi dan menjawab pertanyaan masyarakat secara efisien.

Dalam bidang kesehatan, Kementerian Kesehatan RI juga mulai menerapkan teknologi AI di tiga rumah sakit ternama untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Kolaborasi dengan perusahaan teknologi kesehatan asal Australia bertujuan untuk memanfaatkan AI dalam diagnosa penyakit secara lebih cepat dan akurat.

Dengan demikian, meskipun ada tantangan yang harus dihadapi, integrasi AI dalam sektor publik memiliki potensi besar untuk meningkatkan kinerja pemerintah sambil tetap menjaga integritas dan privasi data serta mengurangi dampak negatif terhadap ketenagakerjaan.