Menanam Padi, Memanen Kehidupan
Hilmi Fabeta
Aktivis Komunitas Kreatif;
Dosen Desain Komunikasi Visual dan Ilmu Semiotika;
Direktur Kelembagaan, Indonesia Creative Cities Network, Founder Tangsel Creative Foundation.
Wartarerepublik.id - Awal Oktober saya berkesempatan ziarah visual ke Desa Gelar Alam. Saya menggunakan diksi ziarah visual karena seperti Kembali mengenang perjalanan yang pernah saya lakukan ke des aini yang mampu menorehkan kenangan tak terlupakan bagi hidup saya. Desa ini sesungguhnya sekitar dua tahun lalu saya mengenal dengan nama Desa Adat Kasepuhan Ciptagelar, namun mereka punya ritual berpindah lokasi, jika mendapat titah leluhur, ke lokasi yang baru tanpa merusak dan tanpa membuat area desa lama terbengkalai.
Desa Gelar Alam, berlokasi di atas Gunung Halimun, daerah Sukabumi, sekitar 143 Kilometer atau sekitar 4 jam jarak tempuh moda transportasi darat. Jika kita melihat dari GoogleMaps jarak tersebut tampak baik-baik saja, terlebih setelah dibukanya akses toll baru di era Presiden Jokowi yang membuat perjalanan lebih ringkas, namun setelah keluar toll dan setelah melewati daerah Pelabuhan Ratu menuju daerah pegunungan Halimun, disitulah adrinalin diuji. Akses jalan mengecil, sebelah kiri topografi jurang, sementara sebelah kanan hamparan lereng gunung yang seakan siap menerkam dengan tanah longsornya. Batu kerikil dan tanah menjadi tantangan bagi kendaraan bermotor. Juga kontur kemiringan tanah yang hamper seluruhnya menanjak curam dan berkelok membuat tidak sembarangan kendaraan bermotor bisa menanjak naik. Meter demi meter yang dilewati akan menjadi cerita tersendiri. Sampai nanti kita akan bertemu pemandangan hamparan padi, gerabah yang sedang dijemur, pepohonan rindang, membuat perjalanan akan terasa menyenangkan.
Konon menurut kisah tetua adat, memang tidak sembarangan orang bisa sampai ke Desa Adat Kasepuhan Gelar Alam (sekali lagi dulu Namanya Ciptagelar), karena harus mempunyai niat yang tulus dan hati yang bersih. Saya sempat bertanya apa maksudnya? Lalu dijawab oleh Abah Anom, pimpinan desa adat, bahwa berkunjung ke desa tersebut harus berlandaskan niat silaturahmi bukan untuk sekedar jalan-jalan karena dengan silaturahmi kita akan menambah panjang pertemanan dan rasa saling mengasihi.
Empat jam memang bukan waktu yang singkat bagi sebuah perjalanan terlebih dengan medan seperti itu. Namun semua terasa lama dan khidmat tatkala kita sampai di desa tersebut. Dibagian depan des akita akan menemui gerbang kayu dan bambu, sederhana dan bersahaja, bertuliskan Desa Adat Kasepuhan Cipta Gelar. Lalu kontur tanah menurun menuju lembah, dan kita akan bertemu area lapang. Disini setidaknya ada 4 bangunan, yaitu Rumah Gede (semacam Balai Tamu), Rumah Ketua Adat, Balai Pasar (tempat menjual hasil panen), Leuwit Uma (lumbung utama tempat menyimpan hasil padi), juga ada aula Latihan tari.
Saat kami sampai bertepatan dengan upacara Serentaun. Ritual yang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu yang digelar untuk mengungkapkan rasa syukur atas hasil alam yang diterima khususnya di sektor perkebunan dan pertanian.
Secara tradisi hadir berbagai kegiatan digelar mulai dari prosesi angkat ampih pare ke leuit (angkat padi dan menyimpan ke lumbung), saresehan bersama baris olot kasepuhan, dog-gog lojor, penampilan seni debus, lisung, rongkong, gondang buhun, dan tari tani.Secara kultural juga digelar 7 panggung hiburan masyarakat yang diisi dengan pentas seni, musik, dangdutan, laga voli antar warga, dan jejeran lapak pedagang. Sungguh meriah. Acara berlangsung dari pagi sampai tengah malam, suara musik dan orang-orang seakan tak habis-habis. Kita akan merasakan berada di dimensi dunia yang lain diantara hamparan bentang alam yang berhawa sejuk dan hingar bingar aktifitas kebudayaan.
Malam itu hadir berbagai tamu dan tokoh adat dari beragam daerah, ada dari Dayak, Keraton Jogja, Baduy, Pasundan, dan lainnya. Kami bertegur sapa dan bercengkrama dalam suasana yang akrab. Di Rumah Agung tersaji makanan gratis. Tersaji beragam makanan khas seperti dodol, tape uli, aneka lauk dan lalapan, dan seterusnya. Tercipta suasana keakraban antar warga antar tamu.
Kang Yoyo Lesmana, salah satu tokoh utama di Kasepuhan bercerita, bahwa Upacara Adat Serentaun ini merupakan bentuk rasa syukur masyarakat terhadap sang pencipta dan sang alam yang memberikan hasil bumi dan segala kebaikan bagi desa.
Lantas kami berbincang tentang kenapa masyarakat adat GelarAlam tidak diperbolehkan menjual padi/beras ke luar desa, sementara komoditi lain boleh dijual. Kang Yoyo yang juga didapuk sebagai semacam juru bicara Kasepuhan memberi ilustrasi sebagai berikut, “Manusia makan dari apa?”
“Nasi!” jawabku.
“Nasi ditanam oleh siapa?” Tanya Kang Yoyo.
“Nasi ditanam oleh manusia Kang,” jawabku.
“Nah eta, oleh sebab itu kami percaya jika kami menjual beras yang kami tanam di tanah kami ke luar desa ini, itu sama saja seperti… menjual kemanusiaan.”
Aku terdiam. Wow. Takjub. Terasa filosofikal, agak artifisial, tapi masuk logika. Nilai-nilai seperti ini lah yang menjaga keutuhan dan ketahanan pangan di desa ini.
Kasepuhan GelarAlam (dulu Ciptagelar) setidaknya memiliki 168 varieties padi. Menurut Abah Ugi gabah yang disimpan di desa cukup untuk pangan 5-6 tahun ke depan. Mereka juga masih mempertahankan pola pertanian tradisional dengan kekuatan gotong royong manusia, juga mereka menerapkan waktu menanam mengikuti rasi bintang Kerti dan Kidang. Dengan mengikuti pola ini, Bertani tidak akan gagal karena tidak melawan cuaca.
***
Malam hari itu setelah berdendang bersama warga di salah satu panggung, saya memutuskan untuk tidur karena besok pagi saatnya pulang. Saya bermalam di rumah Kang Yoyo bersama tamu-tamu lain yang memenuhi sudut rumahnya yang luas beralaskan bambu. Saya berusaha memejamkan mata, menarik sarung, tapi masih memikirkan beberapa hari yang sudah saya lewati.
Saya teringat tulisan Fritjof Capra dalam The Web of Life (1996), sebuah budaya tidak bisa dipisahkan dari alam, dan setiap aktivitas budaya, termasuk seni, merupakan bagian integral dari hubungan manusia dengan lingkungan mereka. Di Gelar Alam, hubungan ini terlihat jelas dalam praktik-praktik pertanian tradisional, seperti penanaman padi yang penuh dengan ritual dan upacara yang sarat dengan elemen seni. Misalnya, seni musik, tarian, dan simbol-simbol visual sering kali digunakan dalam upacara Seren Taun, sebuah festival tahunan untuk merayakan panen padi. Aktivitas seni ini berfungsi tidak hanya sebagai hiburan, tetapi juga sebagai sarana untuk mengkomunikasikan nilai-nilai spiritual tentang keseimbangan antara manusia dan alam.
Dalam masyarakat agraris, ekonomi moral berbasis komunitas sangat dipengaruhi oleh kebutuhan untuk mempertahankan keseimbangan ekologi. Hal ini relevan dengan masyarakat Gelar Alam, di mana aktivitas seni berperan dalam mmenjaga
keseimbangan tersebut melalui ritual dan tradisi yang memperkuat nilai-nilai adat terkait pangan. Sebagai contoh, dalam upacara Seren Taun, berbagai bentuk kesenian seperti wayang, tari, dan nyanyian dipentaskan untuk menghormati Dewi Sri, dewi kesuburan dan padi. Ini menunjukkan bahwa seni tidak hanya menjadi bagian dari ekspresi budaya, tetapi juga terlibat dalam regulasi sistem pangan mereka.
Dalam konteks ini, seni berfungsi sebagai alat untuk menjaga memori kolektif masyarakat terkait dengan praktik pertanian yang berkelanjutan. Menurut pendapat Clifford Geertz dalam Agricultural Involution (1963), sistem pertanian di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia, berkembang dalam konteks kebudayaan yang sangat kompleks. Aktivitas seni di Gelar Alam memperkuat ingatan kolektif masyarakat tentang pentingnya menjaga alam, karena kegiatan artistik mereka selalu terkait dengan siklus pertanian dan pemeliharaan ekologi.
Selain itu, seni di Gelar Alam tidak hanya terbatas pada bentuk-bentuk tradisional, tetapi juga beradaptasi dengan perkembangan zaman. Misalnya, meskipun mereka masih mempraktikkan pertanian tradisional, masyarakat memanfaatkan teknologi sederhana seperti penggunaan panel surya, tetapi tetap menjaga warisan seni dan budaya mereka. Hal ini menunjukkan bagaimana seni, teknologi, dan budaya pangan dapat berintegrasi secara harmonis. Seperti yang dikemukakan oleh Marshall McLuhan dalam Understanding Media (1964), setiap medium baru, termasuk teknologi, memiliki potensi untuk memperluas cara manusia berinteraksi dengan budaya mereka, tanpa harus menghilangkan esensi tradisionalnya.
Relevansi seni dalam budaya pangan di GelarAlam juga dapat dilihat dari keterlibatan semua anggota komunitas dalam proses seni tersebut. Sebagaimana dinyatakan oleh Victor Turner dalam The Ritual Process (1969), seni yang muncul dalam upacara ritual memiliki peran penting dalam memperkuat solidaritas sosial dan identitas komunitas. Di GelarAlam, upacara Seren Taun dan bentuk-bentuk seni lainnya tidak hanya menjadi representasi nilai-nilai budaya, tetapi juga menjadi ruang di mana komunitas berkumpul dan memperkuat hubungan sosial di antara mereka.
Lebih jauh, seni di GelarAlam juga mencerminkan sistem pembagian tugas yang terkait erat dengan gender dan peran sosial dalam komunitas. Wanita sering kali berperan dalam menyiapkan makanan untuk ritual, sementara laki-laki bertanggung jawab atas beberapa aspek teknis seperti pengelolaan pertanian. Menurut Sarah Pink dalam Doing Sensory Ethnography (2009), aktivitas-aktivitas ini juga merupakan bagian dari seni sensorik, di mana proses produksi pangan melibatkan semua indra manusia dan terjalin dengan ekspresi seni seperti nyanyian dan tarian.
Pada akhirnya, hubungan antara seni dan budaya pangan di GelarAlam memperlihatkan betapa pentingnya seni dalam menjaga kesinambungan tradisi, identitas budaya, dan keseimbangan ekologi. Melalui seni, masyarakat tidak hanya merayakan keberhasilan panen, tetapi juga memperkuat hubungan spiritual mereka dengan alam dan komunitas. Ini sejalan dengan pandangan Aldo Leopold dalam A Sand County Almanac (1949) yang menekankan pentingnya etika lingkungan dalam
membangun hubungan yang sehat antara manusia dan alam.
Dengan demikian, seni di Gelar Alam bukan sekadar ekspresi estetis, tetapi merupakan bagian integral dari sistem pangan dan ekologi mereka. Seni berperan dalam memelihara hubungan antara manusia dan alam, mengajarkan nilai-nilai keberlanjutan, dan memperkuat solidaritas sosial dalam komunitas. Inilah yang membuat Desa Gelar Alam menjadi contoh yang relevan tentang bagaimana seni dan budaya pangan dapat berpadu harmonis dalam menjaga kelestarian alam dan kebudayaan.