WARTAREPUBLIK.COM , Pontianak,Kalbar – Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Kubu Raya kembali menjadi sorotan setelah secara resmi menggugat putusan Majelis Komisi Informasi Kalimantan Barat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Pontianak. Putusan sebelumnya memerintahkan BPN untuk menyerahkan dokumen pertanahan terkait sengketa tanah di Jalan Parit Haji Muksin, Kubu Raya, kepada pemohon, Erik Matio Suseno. Langkah BPN ini semakin memperkuat dugaan adanya praktik mafia tanah yang dilindungi oleh oknum tertentu dalam lembaga tersebut.
Keputusan Majelis Komisi Informasi Kalbar sejatinya sudah sejalan dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN RI No. 32 Tahun 2021 tentang layanan informasi publik. Dokumen yang diminta, yakni peta bidang tanah lembar 23 dan 24 tahun 1984, seharusnya menjadi informasi yang terbuka bagi masyarakat, terutama bagi pihak yang berkepentingan. Namun, alih-alih mematuhi perintah tersebut, BPN Kubu Raya justru memilih jalur perlawanan hukum yang dinilai sebagai upaya menghindari transparansi.
Sidang perdana di PTUN Pontianak berlangsung panas. Pihak BPN Kubu Raya tampak tidak siap menghadapi gugatan yang mereka ajukan sendiri. Bahkan, mereka hanya melampirkan surat kuasa yang ditujukan untuk sidang di Majelis Komisi Informasi Kalbar, bukan untuk PTUN. Kesalahan fatal ini semakin menguatkan dugaan bahwa BPN sengaja mengulur waktu agar kasus ini semakin berlarut-larut. Majelis hakim akhirnya menunda sidang hingga pekan depan untuk pembacaan lebih lanjut atas keberatan yang diajukan BPN.
Sikap BPN yang terus menghindar dari transparansi memantik kemarahan publik. Erik Matio Suseno, pihak yang merasa dirugikan dalam kasus ini, menegaskan bahwa dirinya dan masyarakat hanya menuntut keadilan atas tanah yang mereka perjuangkan selama sembilan tahun. “Kami hanya rakyat biasa yang mencari keadilan. Kenapa BPN begitu takut membuka data ini? Jangan sampai ada permainan kotor yang sedang ditutupi,” ujar Erik dengan nada kecewa.
Masyarakat sekitar pun turut geram. Mereka menilai ada indikasi kuat bahwa mafia tanah telah lama beroperasi di Kubu Raya dengan perlindungan dari oknum di dalam BPN. Tak sedikit warga yang mengalami permasalahan serupa namun tak mampu melawan sistem yang berbelit dan tidak berpihak pada rakyat kecil. "Kalau BPN bersih, kenapa mereka menolak transparansi? Kami mendesak Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN pusat untuk segera turun tangan dan mengaudit lembaga ini,” tegas seorang warga yang turut mengawal sidang.
Kasus ini bukan hanya tentang sengketa tanah semata, tetapi juga ujian bagi supremasi hukum dan keterbukaan informasi di Indonesia. Jika BPN Kubu Raya terus berupaya menutupi data pertanahan, kepercayaan publik terhadap lembaga tersebut akan semakin hancur. Apalagi, dengan adanya indikasi keterlibatan mafia tanah, kasus ini bisa menjadi bom waktu yang akan meledak jika tidak ditangani dengan serius oleh pemerintah pusat.
Sidang lanjutan pekan depan akan menjadi momentum krusial. Akankah PTUN Pontianak berdiri di pihak rakyat dan menegakkan keadilan? Atau justru membiarkan praktik mafia tanah semakin merajalela? Semua mata kini tertuju pada jalannya persidangan, menanti apakah hukum benar-benar bisa menjadi benteng terakhir bagi mereka yang terzalimi.[AZ,Tim WGR]