Polisi yang menggerebek lokasi itu menemukan fakta mengejutkan. Di meja servis yang biasanya dipenuhi karburator dan onderdil, tergeletak empat keping emas murni seberat total 53,85 gram, lengkap dengan alat pendulang, kain saring, dan timbangan digital. Sang pemilik, pria berinisial LK, tak asing di mata warga. Ia dikenal dengan nama alias: “Laku Kaya”—julukan yang rupanya bukan tanpa alasan.
LK, Bengkel, dan Peran Sebagai Penampung PETI
LK diduga menjadi penampung utama hasil tambang emas ilegal (PETI) di wilayah itu. Perannya bukan kecil. Ia adalah titik simpul antara para penambang liar dan pasar gelap emas yang jauh lebih besar. Modusnya rapi: transaksi dilakukan di balik dinding bengkel, seolah-olah sedang servis motor, padahal yang masuk adalah logam mulia, bukan oli bekas.
Jejak Emas Menuju Kota: Toko Mas dan Tokoh Misterius
Dari LK, polisi menelusuri jejak emas hingga ke sebuah toko mas bernama Istana Mas, milik perempuan berinisial Yanti. Ia diduga sebagai penadah kelas kakap dalam jaringan ini. Tapi saat diminta keterangan oleh aparat, Yanti dua kali mangkir. Sikapnya dingin, seolah tahu dirinya kebal hukum.
Nama lain yang muncul adalah SB—tokoh yang disebut punya kekuatan besar dalam jaringan ini. Namun hingga kini, sosoknya tetap misterius. Tak tersentuh. Tak terlihat. Seolah hantu dalam sindikat yang licin.
Gegen: Penambang yang Sudah Tiada, Alatnya Masih Bicara
Polisi juga mengungkap peran almarhum Gunawan alias “Gegen”, yang dulunya dikenal sebagai penambang emas aktif. Meski sudah meninggal, alat-alatnya masih beroperasi: spiral, aki, dan saringan miliknya ditemukan di lokasi dan masih digunakan. Ini menandakan satu hal: sindikat ini bukan hanya besar, tapi juga berkelanjutan. Bahkan tanpa pelakunya.
Polisi Seperti Pemadam Kebakaran, Undang-Undang Tak Bertaring
Kompol Yoan Febriawan, perwira yang memimpin operasi, mengaku medan tempurnya tidak mudah. “Hari ini ditutup, besok buka lagi. Modus berubah, lokasi pindah. Kami seperti pemadam kebakaran yang tak pernah istirahat,” katanya getir.
Padahal hukum sudah jelas. Pasal 161 UU Minerba memberi ancaman 5 tahun penjara dan denda Rp100 miliar bagi penadah emas ilegal. Tapi di lapangan? Yang tertangkap hanya pemain kecil. Aktor besar masih bebas menertawakan sistem dari balik meja toko atau layar handphone.
Bukan Tambang Liar, Tapi Sindikat Terorganisir
Polisi memastikan jaringan ini bukan kerja sporadis. Mereka punya struktur:
- Penambang: Gegen, dan lainnya
- Penampung: LK, dengan kamuflase bengkel
- Penadah: Yanti dan SB, bersembunyi di balik toko mas legal
Semua berjalan halus. Disamarkan lewat usaha resmi, didukung oleh jejaring distribusi dan pencucian emas yang terorganisir.
Kesimpulan: Bongkar Akar, Bukan Daun
Kasus ini jadi cermin kelam wajah penegakan hukum atas tambang ilegal di Kalimantan Barat. Ini bukan sekadar warga mencari nafkah di sungai. Ini sindikat, lengkap dengan jalur distribusi dan penadah bertangan dingin. Jika aparat ingin benar-benar menyelesaikan persoalan PETI, mereka tak cukup hanya memburu pendulang di hutan. Mereka harus berani menyentuh Yanti. Menangkap SB. Dan membongkar “bank mas” yang menyamar di balik bengkel sederhana.
Karena selama aktor utamanya tak tersentuh, tambang emas ilegal akan terus hidup—seperti api di balik bara yang tak kunjung padam.
[Red]