Oleh : Moch. Abduh, Ph.D
Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Jakarta
Wartarepublik.co.id - Sebagaimana sering diwartakan, rencana kebijakan Pembelajaran Kecerdasan Artifisial (KA) dan Koding merupakan salah satu program turunan dari Asta Cita Presiden dan Wakil Presiden yang merujuk pada perlunya penguatan pendidikan, sains dan teknologi, serta digitalisasi. Selanjutnya Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah mengemasnya sebagai Program Prioritas dalam bentuk Penguatan Pendidikan Unggul, Literasi, Numerasi dan Sains Teknologi. Sepaham dengan hal tersebut, program ini juga mengacu pada UNESCO ICT Framework dan UNESCO AI Framework dimana murid perlu memiliki kompetensi dalam bidang teknologi komunikasi dan informasi dalam bentuk KA dan Koding sesuai jenjang pendidikan masing-masing yang sedang ditempuhnya.
Tidak dipungkiri bahwa KA dan Koding semakin menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern saat ini. Sayangnya, masih banyak bertebaran miskonsepsi yang berkembang di masyarakat tentang kedua jenis teknologi ini. Akibatnya muncul beberapa miskonsepsi dan gagal paham tentang KA dan Koding yang perlu diluruskan. Penulisan artikel ini dimaksudkan sebagai bahan penyerta penguat implementasi pembelajaran KA dan Koding agar program tersebut dapat terselenggara sesuai dengan harapan dan latar belakang pemikirannya sebagaimana tagline Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah yaitu Pendidikan Bermutu untuk Semua.
Pertama, KA dapat berpikir selayaknya manusia. Salah satu miskonsepsi terbesar adalah anggapan bahwa KA memiliki kesadaran dan pemikiran seperti halnya manusia. Faktanya, KA saat ini merupakan sebuah program yang menjalankan algoritma untuk mengenali pola, memproses data, dan membuat prediksi berdasarkan model matematika. Dalam bukunya bertajuk Artificial Intelligence: A Modern Approach (Edisi Ketiga), Stuart J. Russell & Peter Norvig (2010) menjelaskan bahwa KA sebagai agen cerdas yang dapat memahami lingkungan, mengambil keputusan, dan belajar dari pengalaman. Tampak jelas bahwa KA tidak memiliki perasaan, kesadaran, atau pemahaman intuitif seperti manusia. Meskipun KA dapat menghasilkan karya seni, musik, dan tulisan, namun prosesnya sangat berbeda dengan kreativitas manusia. KA hanya mengolah dan mengombinasikan pola yang telah ada, sementara kreativitas manusia melibatkan intuisi, emosi, dan pengalaman pribadi. Maknanya, KA dapat membantu dalam proses kreatif, tetapi tidak memiliki kreativitas sejati selayaknya manusia. Para pelaku pendidikan tidak seharusnya berburuk sangka yang berlebihan bahwa keberadaan dan eksistensi KA akan menggerus sebagian sisi kemampuan akademik manusia.
Kedua, KA akan menggantikan semua pekerjaan manusia. Banyak pihak khawatir bahwa KA akan menggantikan seluruh pekerjaan manusia dan menyebabkan terjadinya pengangguran massal. Kenyataannya, KA memang berpotensi menggantikan beberapa pekerjaan manusia yang bersifat repetitif dan berbasis data, namun KA juga menciptakan peluang pekerjaan baru dalam bidang pengembangan, pemeliharaan, serta pengawasan sistem KA. Teknologi ini lebih bersifat sebagai alat bantu yang meningkatkan produktivitas manusia, bukan malah sebaliknya sebagai pengganti pekerjaan manusia secara total. Guru dan tenaga kependidikan tetap menjalankan fungsinya sebagai pendidik dan selalu berada pada garda terdepan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Pun, keberadaan guru sebagai pendidik tetap mulia dan tidak akan tergantikan oleh KA.
Ketiga, KA selalu memberikan hasil yang akurat dan objektif. KA sering dianggap sebagai sistem yang tidak bias dan selalu akurat. Faktanya, KA hanya sebaik data yang digunakan untuk melatihnya. Joseph Teguh Santoso (2023) dalam bukunya berjudul Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence) menjelaskan pengumpulan, pengolahan, dan analisis data menjadi aspek penting dalam implementasi KA. Jika data tersebut mengandung bias, KA juga akan menghasilkan keputusan yang bias. Karenanya, penerapan pembelajaran KA dan Koding perlu pay high attention terhadap potensi terjadinya bias dimaksud.
Keempat, KA akan menguasai dunia dan mengancam keberadaan umat manusia. Beberapa film fiksi ilmiah menggambarkan KA sebagai ancaman eksistensi keberadaan umat manusia. Kenyataannya, KA masih berada dalam lingkup kendali manusia dan hanya bekerja dalam batasan dan limitasi yang ditentukan. Tantangan sebenarnya adalah bagaimana memastikan bahwa KA digunakan secara etis dan bertanggung jawab untuk menghindari penyalahgunaan teknologi bagi kehidupan umat manusia.
Begitupun tentang Koding. Masih banyak miskonsepsi yang berkembang di masyarakat mengenai teknologi ini. Pertama, Koding hanya untuk mereka yang memiliki tingkat kecerdasan tinggi di bidang matematika. Salah satu miskonsepsi terbesar adalah anggapan bahwa seseorang harus sangat ahli dalam matematika untuk bisa belajar, memahami dan menggunakan Koding. Faktanya, meskipun beberapa aspek pemrograman membutuhkan pemahaman matematika, banyak konsep Koding lebih berkaitan dengan logika, penalaran dan pemecahan masalah dibandingkan kemampuan ber-matematika.
Kedua, Koding itu sulit dan tidak bisa dipelajari semua lapisan masyarakat. Banyak orang berpikir bahwa Koding sangat sulit dan hanya bisa dipelajari dan dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki latar belakang teknis dan akademis yang bagus. Kenyataannya, siapa pun bisa belajar Koding dengan metode yang tepat dan pelatihan yang cukup. Bahkan, saat ini terdapat banyak sumber belajar gratis maupun berbayar yang tersedia untuk membantu siapa saja yang memiliki keinginan memahami dasar-dasar Koding berikut implementasinya.
Ketiga, Koding hanya dibutuhkan oleh programmer profesional. Sebenarnya Koding tidak hanya bermanfaat bagi mereka yang ingin menjadi programmer profesional. Banyak profesi lain, seperti analis data, ilmuwan, desainer, hingga pebisnis, bisa mendapatkan manfaat dari memahami dasar-dasar Koding untuk meningkatkan efisiensi dan otomatisasi pekerjaan mereka. Begitupun bagi murid, guru dan tenaga kependidikan. Dalam penelitian berjudul Pengenalan Konsep Coding untuk Anak Menggunakan Game Edukasi Berbasis Metode Pembelajaran Berpikir Komputasi, Santoni, A., dkk (2020) menyatakan pengembangan game edukasi yang dilakukan, dirancang untuk memperkenalkan konsep Koding kepada anak-anak menggunakan metode pembelajaran berpikir komputasi.
Keempat, Koding selalu berarti menulis ribuan baris kode. Banyak orang membayangkan bahwa Koding selalu berarti menulis ribuan baris kode yang rumit dan kompleks. Faktanya, banyak bahasa pemrograman modern memiliki sintaks yang lebih ringkas dan mudah dipahami. Selain itu, tersedia berbagai alat bantu dan framework yang mempermudah proses penyusunan dan pengembangan Koding.
Lantas, bagaimana hubungan antara KA dan Koding? Dalam implementasinya, keduanya akan saling menguatkan dan tidak berpotensi saling menggantikan. Meskipun KA telah berkembang pesat dan mampu membantu dalam berbagai aspek pemrograman, Koding tidak akan sepenuhnya digantikan oleh KA. Meski KA dapat membantu dalam penulisan kode berdasarkan pola yang sudah ada, tetapi tidak bisa menggantikan kreativitas manusia dalam merancang solusi inovatif untuk permasalahan yang bersifat kompleks. Pada konteks lain, KA hanya bisa menghasilkan kode berdasarkan data yang sudah ada, tetapi tidak bisa memahami Visi dan Misi, Rencana Strategis, interaksi pengguna dan kebutuhan spesifik kementerian secara mendalam. Sementara, keberadaan programmer tidak hanya menulis kode, tetapi juga berinteraksi dengan stakeholder, memahami kebutuhan mereka, dan mengubahnya menjadi solusi teknis yang efektif.
Miskonsepsi tentang KA dan Koding sering kali berasal dari tafsir yang salah dan pemahaman yang kurang tepat mengenai bagaimana cara kerja kedua teknologi ini. Mudah dipahami bahwa KA dan Koding adalah teknologi yang sangat berguna dalam peningkatan kualitas pembelajaran jika digunakan dengan benar dan dikembangkan secara etis. Dengan pemahaman yang lebih baik, kita dapat memanfaatkan KA secara maksimal tanpa disertai kecemasan dan kekhawatiran berlebihan yang tidak berdasar. Di sisi lain, karena Koding adalah keterampilan berteknologi yang bermanfaat bagi siapa saja, bukan hanya bagi para ahli teknologi, maka dengan pemahaman yang lebih baik, siapa pun termasuk guru dan murid dapat mulai belajar Koding tanpa perlu takut dan terintimidasi oleh miskonsepsi yang salah. Pada akhirnya, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah memiliki harapan tinggi bahwa pembelajaran KA dan Koding akan memberikan kontribusi yang optimal bagi Pendidikan Bermutu untuk Semua sebagaimana tagline yang didengungkan.-