Oleh : Reza Mahendra Kabid. Pendidikan Hima Persis Jakarta
Jakarta - Hari Pendidikan Nasional 2025 kembali mengetuk kesadaran kolektif bangsa dengan tema yang menggugah: “Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua.” Tema ini bukan hanya seruan administratif yang menghiasi baliho dan media sosial, melainkan idealisme luhur yang menuntut refleksi dan perwujudan nyata dari seluruh elemen masyarakat. Namun, dalam realitas yang kami, para mahasiswa, saksikan dan alami, cita-cita tersebut masih jauh dari kenyataan. Pendidikan bermutu masih menjadi hak istimewa bagi sebagian kalangan, sementara mayoritas lainnya berkutat dalam perjuangan panjang yang sering kali sunyi dari perhatian.
Dalam sudut pandang Islam, pendidikan bukan sekadar proses transmisi ilmu pengetahuan, melainkan juga jalan suci menuju pembentukan insan kamil—manusia paripurna yang bertakwa, berilmu, dan berakhlak. Rasulullah SAW menegaskan bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim, tanpa diskriminasi gender, kelas sosial, atau geografis. Maka jika pendidikan di negeri ini masih belum menjangkau seluruh anak bangsa secara adil, itu berarti amanah kenabian belum sepenuhnya kita emban.
Ketika negara mengumandangkan partisipasi semesta, kami bertanya: siapakah semesta yang dimaksud? Apakah ia benar-benar mencakup suara-suara sunyi dari pelosok Papua, dari sudut perkampungan di Nusa Tenggara Timur, dari gang-gang sempit di kota-kota besar tempat anak-anak buruh dan pekerja informal menggantungkan harapan pada pendidikan? Dalam praktiknya, partisipasi yang diklaim semesta sering kali hanya melibatkan segelintir aktor dengan akses, kuasa, dan modal. Sementara kelompok marginal, yang sejatinya paling memerlukan ruang partisipasi, justru tidak diundang dalam percakapan kebijakan.
Kualitas pendidikan yang bermutu tidak dapat diukur semata-mata dari pencapaian akademik yang berpatokan pada angka-angka. Lebih dari itu, mutu sejati terletak pada keberdayaan peserta didik untuk berpikir kritis, bertindak etis, dan membangun peradaban. Sayangnya, sistem pendidikan kita hari ini masih cenderung menekankan kepatuhan dibandingkan kemandirian berpikir, mengagungkan ranking dibandingkan pemaknaan ilmu, dan terlalu berorientasi pada pasar kerja ketimbang pembangunan manusia seutuhnya.
Dalam kerangka agamis, hal ini menyalahi prinsip tauhid yang menempatkan manusia sebagai khalifah di bumi. Khalifah bukan sekadar pekerja terampil, melainkan pemikul amanah Ilahi yang harus mampu menjaga keadilan, menegakkan kebenaran, dan memakmurkan bumi. Maka pendidikan yang baik semestinya membebaskan, bukan mempersempit makna kemanusiaan.
Lebih menyedihkan lagi, pendidikan hari ini semakin terdorong menjadi komoditas. Lahirnya sekolah-sekolah unggulan, kampus-kampus bertarif tinggi, dan sistem zonasi yang belum sepenuhnya adil, telah memperkuat segregasi sosial berbasis ekonomi. Dalam perspektif keadilan sosial, hal ini sangat memprihatinkan. Dalam pandangan Islam, ilmu bukanlah milik orang kaya, tetapi karunia Allah yang seharusnya bisa diakses oleh siapa pun yang mencarinya.
Tanggung jawab untuk mewujudkan pendidikan bermutu memang tidak hanya bertumpu pada negara. Namun, negara tetaplah aktor utama yang wajib memastikan bahwa setiap warga negara mendapatkan hak pendidikannya secara adil dan bermartabat. Negara harus menjadi pengayom, bukan hanya regulator. Partisipasi masyarakat—baik dari kalangan pendidik, orang tua, tokoh agama, hingga sektor swasta—baru dapat bermakna jika negara terlebih dahulu menciptakan ruang yang setara bagi mereka untuk berkontribusi secara substantif.
Dalam hal ini, masjid, pesantren, gereja, vihara, dan tempat-tempat ibadah lainnya memiliki peran strategis untuk memperkuat fungsi pendidikan spiritual dan moral yang kini mulai kehilangan tempat dalam sistem formal. Spirit keagamaan yang mencerdaskan dan memanusiakan perlu terus digaungkan sebagai pilar utama pendidikan bermutu. Ketika ilmu dipisahkan dari akhlak, maka lahirlah generasi yang cerdas namun abai terhadap nilai. Di sinilah letak urgensi partisipasi semesta dalam dimensi spiritual dan moral.
Sebagai mahasiswa, kami juga berkaca pada peran kami sendiri. Tidak jarang, kampus justru menjelma menjadi menara gading yang menjauh dari realitas sosial. Pendidikan tinggi menjadi privilege yang dijaga eksklusivitasnya, bahkan terkadang terjerumus dalam formalisme akademik yang hampa dari nilai-nilai kerakyatan. Ini menjadi ironi yang harus kami kritik dari dalam, agar kampus benar-benar menjadi ruang pembebasan dan pemberdayaan.
Hari Pendidikan Nasional seharusnya bukan hanya seremoni tahunan yang menyuarakan harapan, tetapi juga momen muhasabah kolektif. Sudahkah kita benar-benar membuka akses bagi anak-anak bangsa untuk belajar tanpa batasan ekonomi dan geografis? Sudahkah kita menumbuhkan generasi yang mencintai ilmu karena Allah, bukan semata-mata demi ijazah dan pekerjaan?
Pendidikan yang bermutu untuk semua bukanlah sekadar cita-cita, melainkan amanah besar yang harus diperjuangkan bersama, dengan ketulusan, keberanian, dan kesadaran penuh bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa adalah ibadah yang tak boleh ditawar. Partisipasi semesta yang diimpikan hanya akan menjadi kenyataan jika kita semua—negara, masyarakat, dan individu—menanggalkan ego sektoral dan mulai bekerja dalam semangat gotong royong yang dilandasi nilai ilahiah.
Jika partisipasi semesta hanyalah jargon tanpa upaya konkret membangun keadilan, maka pendidikan Indonesia akan terus menjadi panggung ketimpangan. Namun jika semesta benar-benar menyatu dalam niat dan aksi untuk menghadirkan keadilan dan kebermaknaan, maka pendidikan Indonesia akan menjadi cahaya yang menerangi dunia.
Dengan ini Hima Persis Jakarta menyatakan sikap Tegas serta menggugat Kepemimpinan Kemendikdasmen & Kemendiktisaintek dengan beberapa tuntutan Yaitu :
1. Kesetaraan Pendidikan
2. Kesenjangan Sosial Pendidikan
3. Kualitan guru dan Kurikulum Pendidikan
4. Guru Honorer (Naikan Gaji Guru Honorer)
5. Evaluasi Kurikulum yang berdampak Luas di Perguruan Tinggi