Transisi Energi dan Dampak yang Ditinggalkan di Tana Halmahera -->

Header Menu

Transisi Energi dan Dampak yang Ditinggalkan di Tana Halmahera

Admin Redaksi
Wednesday, 27 August 2025

Oleh: El Dinoh, Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMID) kota Ternate


Ternate, WartaRepublik.Com - Peralihan energi merujuk pada proses berpindah dari penggunaan energi fosil ke energi yang lebih bersih, dengan tujuan untuk menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan mencapai keadilan. Namun, pernyataan ini sering kali terdengar manis dari pihak berkuasa, di baliknya terdapat jebakan yang mengakibatkan masyarakat menjadi korban. Ada baiknya kita melihat secara bersama bagaimana keinginan Joko Widodo untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu pusat industri mobil listrik dunia telah mempercepat dan memperluas aktivitas penambangan nikel di seluruh Indonesia. Nikel Indonesia merupakan yang terbesar di dunia, dengan total 72 juta ton dari cadangan dunia yang mencapai 139,4 juta ton atau 52 persen. Semua ini dilakukan atas dasar keinginan menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat, tetapi sering kali hanya menjadi omongan manis yang menipu rakyat dengan dalih kesejahteraan.

Untuk mencapai semua ini, Provinsi Maluku Utara menjadi target pembabatan hutan secara masif. Semua kerusakan ini semata-mata untuk memenuhi ambisi kekuasaan. Halmahera Tengah kini menjadi wilayah dengan berbagai ketimpangan, baik secara sosial, ekonomi, maupun politik. Di balik semua kerusakan ini terdapat skema kekuasaan yang terlihat jelas saat penebangan hutan semakin meluas, disertai dengan terjadinya banjir yang menghancurkan ekonomi lokal. Pemerintah seolah tidak peduli dengan kondisi ini. Lalu, di manakah keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia? Semua ini hanya sekadar kata-kata kosong dari pihak yang berkuasa.

Di balik transisi energi ini juga terdapat konsekuensi besar, salah satunya adalah dampak kesehatan masyarakat akibat paparan logam berat, seperti merkuri dan arsen. Banyak warga di dekat area tambang memiliki kadar logam berat dalam darah yang melebihi batas aman, yang dapat memicu berbagai masalah kesehatan. Semua ini adalah bencana yang diciptakan oleh negara sendiri. Halmahera kini terlihat seperti neraka yang ditimbulkan oleh tindakan negara. Semua yang tumbuh dan berkembang di hutan Halmahera telah dirusak demi kesejahteraan palsu yang dijanjikan oleh kekuasaan. Dari satu rezim ke rezim lainnya, masyarakat selalu menerima berita buruk, dengan berbagai dalil dan sumpah yang menggunakan nama Tuhan untuk menjanjikan kesejahteraan, bahkan Tuhan pun diperdagangkan untuk memenuhi ambisi dan keserakahan mereka. Selain itu, perubahan ekonomi juga telah mengubah mata pencaharian masyarakat. Dulu mereka adalah petani dan nelayan, sekarang mereka menjadi pekerja pabrik. Perubahan ini mengancam peradaban yang telah bertahan bertahun-tahun. Proses ini mirip dengan apa yang terjadi di Inggris, di mana petani-petani desa meninggalkan lahan mereka demi bekerja di industri, dan akhirnya tanah warisan mereka pun hilang.

Hingga kapan kita akan terjebak dalam ketidakpastian seperti ini? Kita telah melihat dan merasakan betapa hancurnya kondisi pemerintahan kita saat ini. Pemerintah berusaha membungkam kita secara diam-diam, semakin dalam kita terjerumus, semakin rakus mereka menjarah dan mengambil apa yang ada di Halmahera, mungkin juga akan merambah Haltim, Halbar, Halsel, dan daerah lainnya. Melky Nahar, sebagai Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), mengkritik sikap pemerintah yang menolak penelitian ilmiah tentang pencemaran lingkungan di Teluk Weda tanpa memberikan bukti ilmiah yang valid sebagai tanggapan.

Melky Nahar, sebagai koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), menyoroti sikap pemerintah yang menolak penelitian ilmiah mengenai pencemaran lingkungan di Teluk Weda tanpa memberikan bukti ilmiah yang bertolak belakang.

Alih-alih menyikapi temuan tersebut dengan cermat dan melakukan penyelidikan lebih lanjut, pemerintah daerah justru cepat-cepat membantah, seakan-akan mereka dalam keadaan panik dan berusaha membela pihak tertentu.

Pemerintah Halmahera Tengah juga membantah adanya pencemaran di perairan Halmahera. Kita tidak terkejut melihat sikap pemerintah yang tidak mendukung masyarakat saat ini. Ini terjadi karena mereka takut mengganggu kenyamanan kekuasaan yang ada. Semua ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah hanyalah alat yang digunakan oleh pemerintah pusat.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nexus Foundation, ditemukan konsentrasi arsenik dalam darah penduduk dan pekerja berkisar antara 13,2 hingga 43,7 ug/L, dengan rata-rata 22,94 ug/L, yang tiga kali lebih tinggi daripada batas aman arsenik, yaitu 7,5 ug/L. Sedangkan kadar merkuri mencapai hingga 19,3 ug/L, dan rata-rata 12,7 ug/L, jauh melebihi ambang batas dalam darah sebesar 4,3 ug/L.

Inilah kondisi yang kita hadapi sekarang, di mana pemerintah dari pusat hingga daerah tidak lagi mencerminkan keadilan bagi masyarakat. Temuan dari Nexus Foundation membuktikan bahwa peran pemerintah sebenarnya adalah untuk melindungi kepentingan nasional, bahkan jika itu harus mengorbankan rakyat. Ini adalah catatan hitam bagi pemerintah kita saat ini.

Jika kritik dianggap sebagai provokasi dan aksi dianggap sebagai tindakan kekacauan, maka negara ini akan menjadi neraka.