Oleh: Abadi Leko Mahasiswa Hukum Ummu
OPINI, Wartarepublik.com - Komisi Pemilihan Umum (KPU) bertanggung jawab atas pelaksanaan pemilu dan memiliki peran penting dalam memastikan transparansi serta kepercayaan masyarakat.
Namun, munculnya peraturan baru, yaitu Keputusan KPU RI Nomor 731 Tahun 2025 yang ditetapkan pada 21 Agustus 2025 terkait Syarat Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden, mengecualikan beberapa informasi dari publik.
Peraturan ini menyatakan bahwa ada 16 dokumen pendaftaran capres dan cawapres yang tidak boleh diakses oleh masyarakat selama lima tahun, kecuali jika pemilik dokumen memberikan izin tertulis atau jika pengumuman tersebut terkait dengan jabatan publik.
KPU mengklaim peraturan ini dibuat untuk melindungi data pribadi serta mematuhi perundang-undangan tentang data pribadi, di samping pengaturan internal dan regulasi pemilu.
Namun, ketentuan ini justru mengurangi tingkat transparansi dan akuntabilitas informasi publik, terutama karena dokumen-dokumen seperti ijazah dan riwayat hidup calon seharusnya bersifat publik, dan masyarakat berhak mengetahuinya, apalagi tentang calon presiden dan wakil presiden.
Keputusan ini menimbulkan pertanyaan besar di kalangan masyarakat mengenai komitmen KPU terhadap keterbukaan informasi. Kebijakan yang ada dinilai tidak adil, karena mengabaikan hak dasar demokrasi masyarakat untuk mengetahui siapa yang akan menjadi pemimpin mereka.
Dokumen capres dan cawapres yang menjadi sorotan, seperti ijazah, laporan harta kekayaan (LHKSPT), atau dokumen pernyataan tertentu, merupakan bagian penting dalam proses pencalonan. Jika dokumen ini dirahasiakan atas nama privasi atau alasan administratif, maka masyarakat kehilangan hak untuk menilai kelayakan dan integritas calon pemimpinnya. Dalam sebuah demokrasi, transparansi sangat penting, karena rakyat adalah pemilik suara dan hak pilih.
Sikap KPU ini melanggar prinsip-prinsip demokrasi dan bertentangan dengan semangat undang-undang yang berlaku. Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) secara tegas menyatakan bahwa informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik dan proses pembuatan keputusan publik tidak boleh disembunyikan.
Selain itu, kerahasiaan ini bisa menimbulkan kecurigaan publik, membuka peluang spekulasi, dan bahkan dapat mengancam legitimasi hasil pemilu.
KPU seharusnya menghormati prinsip keterbukaan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, KPU diwajibkan untuk melaksanakan pemilu berdasarkan prinsip yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Jadi, bagaimana mungkin prinsip kejujuran dan keadilan dapat ditegakkan jika dokumen-dokumen dasar pencalonan saja tidak dapat diakses oleh publik?
Lebih jauh lagi, kebijakan ini dapat memicu kecurigaan dan spekulasi yang tidak berdasar di kalangan masyarakat. Transparansi memastikan integritas. Jika publik tidak memiliki kesempatan untuk memverifikasi kebenaran dokumen, maka kemungkinan manipulasi data, pelanggaran administratif, dan bahkan pemalsuan dokumen semakin meningkat. Hal ini bukan hanya merugikan pemilih, tetapi juga mengancam legitimasi pemilu itu sendiri.
KPU seharusnya mengambil pelajaran dari berbagai kasus sebelumnya, di mana keterbukaan informasi dapat melindungi dari tuduhan terhadap politisasi serta intervensi kekuasaan. Menyembunyikan informasi krusial seperti dokumen dari capres dan cawapres justru bisa dianggap sebagai tindakan yang tidak berpihak kepada publik, dan bahkan dianggap sebagai usaha untuk melindungi kepentingan kelompok tertentu.
Sebagai lembaga yang berdiri sendiri, KPU memiliki tugas untuk melayani masyarakat dan bukan untuk kepentingan politik tertentu. Oleh karena itu, transparansi harus dijadikan sebagai prinsip utama dan bukan hanya sekedar kata-kata. Jika dokumen tentang calon presiden dan wakil presiden tidak tersedia untuk umum, bagaimana masyarakat dapat menjalankan hak suara mereka dengan informasi yang memadai?
Saat informasi penting disembunyikan, keadilan bagi suara pemilih menjadi tidak jelas. Pemilu bukan hanya soal memilih, tetapi tentang memilih dengan pengetahuan dan kecerdasan, dan itu hanya dapat terjadi jika semua informasi penting disajikan secara terbuka. Dengan demikian, sikap untuk merahasiakan dokumen calon presiden dan wakil presiden tidak hanya tidak adil, tetapi juga dapat mengurangi kualitas demokrasi itu sendiri.
Transparansi merupakan suatu keharusan, bukan sekedar pilihan:
Apabila KPU ingin mempertahankan kredibilitas, membangun kepercayaan masyarakat, dan menjaga kualitas demokrasi di Indonesia, maka semua dokumen pencalonan, baik untuk presiden maupun wakil presiden, harus diungkapkan kepada publik. Menyembunyikannya sama sekali bertentangan dengan semangat reformasi dan prinsip pemilihan yang jujur, adil, dan akuntabel.
Jika pemilu dianggap sebagai perayaan demokrasi, rakyat berhak mengetahui siapa yang berpartisipasi dalam perayaan tersebut dan apa yang mereka tawarkan. Keterbukaan merupakan dasar dari kepercayaan, dan tanpa kepercayaan, demokrasi hanya akan menjadi tontonan lima tahunan.
Saat ini, keputusan tersebut telah dibatalkan, namun ini akan tercatat dalam sejarah bahwa keputusan serupa pernah diambil dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia. Bayangkan jika publik tidak mengkritik dan KPU tidak membatalkannya, keputusan ini mungkin saja akan terus berlaku, dan prinsip keterbukaan informasi publik serta independensi KPU akan dipertanyakan oleh banyak orang.
Selanjutnya, masalah ini bukan hanya mengenai apakah keputusan sudah dibatalkan atau belum, tetapi yang lebih penting adalah seharusnya keputusan seperti ini tidak perlu diambil sejak awal. Yang krusial adalah bagaimana KPU memahami dan tetap mengikuti ketentuan UU No 14 Tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik sehingga tidak melanggar prinsip demokrasi.
Aturan seperti ini juga dapat menimbulkan kecurigaan publik yang mempertanyakan independensi KPU. Dalam kapasitasnya sebagai penyelenggara pemilu, KPU tidak boleh berpihak kepada partai politik atau pasangan calon manapun.
KPU yang independen seharusnya mampu menegakan prinsip transparansi:
Sebagai lembaga publik, KPU diwajibkan untuk melaksanakan UU Keterbukaan Informasi Publik (UU No. 14 Tahun 2008). Ini berarti semua informasi tentang pemilu, termasuk dokumen persyaratan untuk calon presiden dan wakil presiden, harus terbuka untuk publik, kecuali jika secara sah dinyatakan tertutup, bukan sebaliknya.
Menutup informasi tanpa alasan yang kuat adalah pelanggaran terhadap prinsip demokrasi. Transparansi sangat penting untuk menjaga legitimasi dalam proses demokratik.
KPU harus menjalani semua fase pemilu sesuai dengan prosedur yang berlaku, dan harus menjadi teladan bagi lembaga lain dalam hal keterbukaan dokumen, sehingga publik bisa merasa puas dengan performa KPU sebagai penyelenggara pemilu.