Oleh: Mina Armain Ketua umum Sahabat _nulis
OPINI, Wartarepublik.com - Di jalan-jalan Maluku Utara, pemandangan pengendara yang menyalakan rokok di atas motor atau mobil sudah menjadi hal biasa. dari sudut-sudut kota Ternate hingga jalan lengang di Tidore atau Halmahera, asap rokok bercampur dengan deru knalpot seolah menjadi bagian dari keseharian. banyak orang yang bahkan tidak lagi memperhatikan bahwa kebiasaan ini bukan hanya urusan pribadi, melainkan sudah menjadi gangguan nyata bagi pengendara lain. Pertanyaannya, sampai kapan kebiasaan ini akan dianggap wajar, dan perlukah negara turun tangan dengan regulasi yang lebih tegas?
Fenomena merokok saat berkendara bukan sekadar persoalan kesehatan. ia adalah gambaran bagaimana masyarakat memaknai ruang publik. ketika seseorang menyalakan rokok di atas motor, ia membawa kepentingan pribadinya ke ruang yang seharusnya menjadi milik bersama. Asap yang mengepul dihembuskan ke udara bebas, tapi juga terhirup oleh pengendara di belakangnya. Puntung rokok yang dibuang sembarangan bisa memercik api, bisa melukai, bahkan berpotensi memicu kecelakaan. namun di balik semua itu, kebiasaan ini diterima begitu saja, seakan-akan tidak ada masalah.
Pierre Bourdieu menyebut fenomena semacam ini sebagai habitus, yakni pola kebiasaan yang lahir dari pengulangan dan diwariskan oleh lingkungan sosial. Merokok saat berkendara menjadi “biasa” bukan karena ia benar atau pantas, tetapi karena lingkungan sosial membiarkannya, bahkan membentuknya. seorang remaja yang melihat orang tuanya atau orang dewasa di kampungnya merokok sambil mengendarai motor, bisa jadi akan mengulang hal yang sama ketika ia dewasa. dengan kata lain, budaya ini direproduksi tanpa kritik, lalu menjadi bagian dari gaya hidup yang sulit dipisahkan dari keseharian.
Lebih jauh, Erving Goffman dengan teori dramaturginya menjelaskan bahwa manusia dalam kehidupan sehari-hari selalu menampilkan diri layaknya aktor di atas panggung. Jalan raya adalah salah satu panggung itu. Pengendara yang merokok di atas motor tidak hanya sedang menikmati rokoknya, tetapi juga menampilkan sebuah citra diri: maskulin, santai, berani, bahkan dianggap “keren” di mata sebagian orang. Rokok menjadi properti panggung yang memberi simbol tertentu, meski dampak yang ditimbulkan justru Mengganggu orang lain. Inilah yang menjadikan kebiasaan ini bukan sekadar masalah kesehatan, tetapi juga masalah representasi sosial.
Namun yang sering dilupakan adalah bahwa ruang publik menuntut etika kolektif. Emile Durkheim pernah menekankan pentingnya norma sosial sebagai pengikat masyarakat. Tanpa norma yang jelas, masyarakat bisa terjerumus pada anomi, yakni kekosongan aturan yang membuat perilaku menyimpang dianggap wajar. Merokok sambil berkendara adalah contoh nyata. karena tidak ada aturan yang jelas melarangnya, maka kebiasaan itu dibiarkan begitu saja, bahkan dianggap hal biasa. Padahal, justru di situlah letak bahayanya: ketika sesuatu yang salah dilihat sebagai hal yang wajar.
Risiko yang muncul pun tidak kecil. Ulrich Beck dalam konsep masyarakat risiko menegaskan bahwa modernitas melahirkan risiko-risiko baru yang sering tidak disadari. Asap rokok di jalan bukan hanya mengandung zat berbahaya, tetapi juga menciptakan risiko tambahan di luar kecelakaan lalu lintas itu sendiri. seorang pengendara di belakang bisa terganggu konsentrasinya karena asap, seorang anak kecil di boncengan bisa menjadi perokok pasif, bahkan pengendara yang tiba-tiba tersenggol puntung rokok bisa kehilangan kendali. semua ini adalah risiko sosial yang ditanggung bersama, tetapi ironisnya berasal dari pilihan pribadi satu orang.
Sayangnya, regulasi kita belum cukup kuat untuk menjawab persoalan ini. aturan lalu lintas memang melarang pengendara melakukan aktivitas yang Mengganggu konsentrasi, tetapi tidak ada pasal tegas yang melarang merokok di jalan. Akibatnya, aparat kepolisian jarang sekali menindak pengendara yang merokok. di sisi lain, regulasi tentang kawasan tanpa rokok lebih banyak menyasar gedung, sekolah, atau rumah sakit, bukan jalan raya. Padahal jalan adalah ruang publik yang paling rawan, karena di situlah interaksi massal terjadi setiap hari.
Di Maluku Utara, di mana jalan-jalan kota sempit dan lalu lintas sering padat, persoalan ini semakin terasa. Bayangkan di jalan raya Ternate pada jam sibuk, ketika motor saling berdesakan, lalu asap rokok mengepul dari pengendara di depan. Bukan hanya Mengganggu, tetapi bisa memicu pertengkaran atau emosi di jalan. di kampung-kampung, kebiasaan ini dianggap lebih biasa lagi, karena jalanan sepi membuat pengendara merasa bebas. namun bebas yang dimaksud seringkali adalah bebas yang abai terhadap hak orang lain.
Persoalan inilah yang mengharuskan kita berpikir ulang: apakah kebiasaan merokok saat berkendara cukup diserahkan pada kesadaran individu, ataukah negara harus hadir dengan regulasi yang tegas? saya berpendapat, regulasi diperlukan bukan untuk membatasi kebebasan pribadi, melainkan untuk melindungi kepentingan publik. Kebebasan seseorang untuk merokok seharusnya berhenti ketika mulai merugikan orang lain. di sinilah negara perlu menetapkan batas yang jelas.
Regulasi saja tentu tidak cukup. kesadaran sosial harus dibangun melalui edukasi, kampanye publik, dan kontrol sosial dari masyarakat sendiri. Jika di jalan kita terbiasa menegur pengendara yang membuang sampah sembarangan, mengapa kita tidak bisa menegur pengendara yang merokok dan Mengganggu orang lain? norma sosial harus dikuatkan agar kebiasaan ini tidak lagi dianggap lumrah.
Pada akhirnya, merokok saat berkendara di Maluku Utara adalah cermin dari krisis kesadaran sosial. ia menunjukkan betapa kita sering menempatkan kenyamanan pribadi di atas keselamatan bersama. Padahal, jalan raya adalah ruang publik, tempat di mana setiap orang punya hak yang sama atas udara bersih, keselamatan, dan kenyamanan. Tanpa regulasi yang tegas dan kesadaran kolektif, kebiasaan ini akan terus diwariskan asal satu generasi ke generasi berikutnya.
Kini saatnya kita bertanya dengan serius: apakah kita akan terus membiarkan asap rokok menjadi bagian dari jalan raya Maluku Utara, ataukah kita berani mengambil langkah tegas untuk melindungi hak publik? Jawabannya ada di tangan kita, masyarakat, sekaligus di tangan negara yang berkewajiban menjamin keselamatan warganya.