Perempuan Bukan Tempat Penampung Luka -->

Header Menu

Perempuan Bukan Tempat Penampung Luka

Admin Redaksi
Monday, 15 September 2025

                         Oleh: Fitriyani Ashar 


OPINI, Wartarepublik.com - Dalam realitas sosial yang masih didominasi oleh struktur patriarki, perempuan kerap dijadikan “tempat penampung luka baik secara fisik, emosional, maupun simbolik. Mereka dipaksa menanggung beban kekerasan, ketidakadilan, dan penindasan yang berasal dari berbagai sisi, pasangan, keluarga, masyarakat, hingga sistem hukum dan budaya yang tidak berpihak. Tapi, sudah saatnya kita tegaskan bahwa perempuan bukan wadah luka yang harus selalu memendam dan menanggung sendiri rasa sakit tersebut.

Luka Perempuan Bukan Sekadar Masalah Individual:

Seringkali, luka yang dialami perempuan dipandang sebagai masalah pribadi, sebuah drama atau kesalahan individu. Padahal, banyak luka perempuan justru adalah manifestasi dari sistem yang timpang: budaya patriarki yang menormalisasi kekerasan, hukum yang diskriminatif, serta stigma sosial yang membungkam.

Menurut bell hooks, dalam bukunya Feminism is for Everybody(2000), patriarki bekerja dengan cara “memperkuat hierarki gender melalui kontrol terhadap tubuh, suara, dan kebebasan perempuan” (hooks, 2000). Dengan demikian, luka perempuan bukanlah luka yang muncul secara kebetulan, melainkan hasil dari penindasan sistemik yang terselubung.

Sistem yang Memaksa Perempuan Menjadi Penampung Luka:

Keluarga, sebagai unit sosial terkecil, sering kali menjadi tempat pertama perempuan mengalami tekanan untuk memendam luka. Mereka diajarkan untuk “kuat,” “tahan,” dan “jangan membuat masalah.” Dalam banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga, perempuan dipaksa memilih antara melaporkan kekerasan dan menjaga “keutuhan keluarga,” yang pada akhirnya menambah luka psikologis dan sosial.

Tidak hanya itu, budaya sosial yang menjunjung tinggi “kehormatan” dan “nama baik” sering menuntut perempuan untuk menanggung aib dan luka secara diam-diam. Sebagai konsekuensi, perempuan sering menjadi korban ganda pertama dari kekerasan itu sendiri, dan kedua dari penolakan sosial dan stigma.

Hukum dan Budaya yang Membungkam Luka Perempuan:

Di tingkat yang lebih luas, hukum dan kebijakan publik sering kali gagal mengakui luka perempuan sebagai masalah kolektif yang membutuhkan perhatian serius. Seperti yang dikritik oleh Chandra Talpade Mohanty dalam Feminism Without Borders(2003), banyak hukum yang mengatur tubuh dan perilaku perempuan justru memperkuat posisi subordinat mereka dan menegakkan “norma” yang diskriminatif (Mohanty, 2003).

Kasus-kasus kekerasan seksual yang tidak mendapatkan keadilan, kriminalisasi terhadap perempuan atas pilihan reproduksi mereka, serta minimnya perlindungan hukum adalah contoh nyata bagaimana perempuan menjadi tempat penampung luka yang terus diperpanjang oleh sistem.

Melampaui Luka! Perempuan sebagai Agen Perubahan:

Namun, seperti ditegaskan oleh Audre Lorde dalam Sister Outsider(1984),

Tidak ada perjuangan yang lebih besar dari perjuangan untuk berbicara, untuk mengaku, dan untuk mengklaim keberadaan diri kita dalam dunia yang ingin membungkam suara kita” (Lorde, 1984).

Perempuan bukan hanya korban luka mereka adalah subjek dengan kekuatan dan kemampuan untuk mengubah narasi tersebut. Namun agar itu terjadi, kita harus mengubah sistem yang selama ini membuat perempuan memendam luka dalam sunyi.

Penting untuk menciptakan ruang aman dan mekanisme yang mendukung perempuan agar dapat menyuarakan pengalaman mereka tanpa takut dihakimi atau disalahkan. Pendidikan gender, reformasi hukum, dan gerakan feminis harus terus digalakkan untuk menghancurkan budaya yang membungkam dan melukai perempuan.

Penutup:

Perempuan bukan tempat penampung luka mereka adalah insan penuh martabat yang berhak atas keadilan, perlindungan, dan kebebasan. Menuntut perempuan untuk menanggung luka secara diam-diam adalah bentuk kekerasan terselubung yang melanggengkan penindasan.

sudah saatnya kita mengakhiri siklus luka yang dipikul perempuan dan mulai mendengarkan suara mereka sebagai agen perubahan. Karena hanya dengan begitu, luka perempuan tidak lagi menjadi beban tersembunyi, melainkan panggilan bagi keadilan dan transformasi sosial.