Sepi yang Menyimpan Suara -->

Header Menu

Sepi yang Menyimpan Suara

Admin Redaksi
Monday, 15 September 2025

                      Oleh: Fitriyani Ashar 


OPINI, Wartarepublik.com - Dalam narasi dominan masyarakat patriarkal, perempuan sering dijadikan sosok yang “diam” dan “penerima”. Namun, diam itu bukan tanda ketidakberdayaan melainkan ruang sepi yang menyimpan suara, luka, dan perlawanan yang menunggu saatnya untuk didengar. Tubuh dan pikiran perempuan diserang secara sistemik, dipaksa bungkam oleh norma budaya, hukum yang timpang, dan kekuasaan patriarki yang melekat dalam struktur sosial.

Sady Doyle, dalam Dead Blondes and Bad Mothers, menyatakan bahwa perempuan sering kali “didefinisikan dari luar, sebagai objek yang dilihat dan dinilai laki-laki, bukan sebagai subjek yang merasakan dan berpikir” (Doyle, 2019). Konsep ini menjelaskan mengapa suara perempuan kerap disensor karena suara itu akan mengganggu tatanan kuasa yang ada. Diam menjadi cara patriarki mengontrol dan membungkam.

Tubuh Perempuan dan Diam yang Dipaksakan:

Perempuan tidak hanya mengalami kekerasan fisik, tapi juga kekerasan simbolik melalui pembungkaman. Ketika perempuan mencoba bersuara mengungkapkan apa yang dialami dari kekerasan, ketidakadilan, atau sekadar menuntut ruang untuk berpendapat mereka dihadapkan pada stigma, pelecehan, bahkan penghilangan hak.

Dorothy Roberts, dalam Killing the Black Body, menegaskan bahwa kontrol atas tubuh perempuan, terutama perempuan kulit hitam, adalah bentuk “penjajahan yang terus berlangsung dalam wujud kebijakan publik dan sosial” (Roberts, 1997). Tubuh perempuan bukanlah wilayah bebas, melainkan medan pertempuran antara hak asasi dan represi.

Dengan demikian, diam perempuan bukanlah pilihan bebas. Ia adalah hasil dari tekanan sistemik yang berlapis-lapis. Suara perempuan disimpan dalam sepi, karena ruang untuk bersuara seringkali adalah ruang yang berbahaya, penuh ancaman dan penghakiman. Bahakan tidak ada yang perduli.

Sepi yang Menyimpan Perlawanan:

Namun, sepi itu bukan tanda mati atau pasrah. Seperti yang dikatakan Doyle, “kekerasan patriarki membuat kita percaya bahwa kita pantas menerima apa yang menimpa kita sebuah lingkaran yang terus memecah dan membentuk perempuan yang terluka” (Doyle, 2019). Tetapi perempuan juga menyimpan luka itu sebagai kekuatan menyimpan suara yang suatu hari akan keluar dengan lebih keras dan jelas.

Perempuan yang tampak diam sebenarnya sedang membangun jaringan perlawanan di dalam dirinya, memperkuat diri dalam ruang-ruang sepi yang tidak dilihat oleh publik. Perempuan dalam diam mengumpulkan kekuatan untuk mengubah narasi yang selama ini mengekang mereka.

Kritik terhadap Sistem dan Budaya Patriarki:

Budaya yang membungkam perempuan bukan hanya soal kebiasaan sosial, melainkan soal struktur kuasa yang melanggengkan dominasi laki-laki. Pembungkaman suara perempuan memperkuat sistem patriarki yang menilai perempuan sebagai objek dan alat moralitas publik.

Hukum dan norma sering kali menjadi alat pengendali yang melegitimasi pembungkaman ini. Perempuan yang menjadi korban kekerasan harus membuktikan “kesucian” atau “kredibilitas” mereka sebelum didengar, sementara pelaku mendapatkan ruang untuk lolos dari hukuman. Dengan kata lain, hukum tidak menjadi pelindung yang adil, tapi instrumen penindasan yang memperpanjang luka perempuan.

Menuju Kebebasan atas Suara dan Tubuh:

Untuk menghentikan lingkaran pembungkaman ini, kita harus mengakui dan membuka ruang bagi suara perempuan bukan sekadar dalam simbolisme, tapi dalam praktik nyata sosial, budaya, dan hukum. Kebebasan perempuan atas tubuh dan suara adalah hak asasi yang tidak bisa ditawar.

Sebagaimana Roberts menegaskan:

Tidak ada perempuan yang bisa disebut bebas sebelum ia memiliki kendali penuh atas tubuhnya sendiri, termasuk kebebasan untuk memilih menjadi ibu atau tidak” (Roberts, 1997).

Penutup:

Sepi yang Menyimpan Suara bukan hanya tentang diamnya perempuan ia adalah narasi yang menyingkap luka yang tak terlihat dan kekuatan yang tersembunyi. Diam perempuan bukan berarti lenyapnya suara, melainkan pertanda bahwa suara itu sedang dikumpulkan, diperkuat, dan akan suatu saat bergema menentang ketidakadilan.