
Di Tanjung Hilir, Pontianak, keresahan warga kian memuncak. SPBU 6478110, yang seharusnya menjadi penyalur bahan bakar bersubsidi bagi masyarakat luas, justru diduga bermain curang. Solar subsidi yang seharusnya bisa dinikmati nelayan kecil, sopir angkutan, hingga petani, hanya mengalir ke segelintir orang.
Harga pun tak lagi mengikuti ketetapan pemerintah. Di lapangan, solar subsidi dijual antara Rp8.000 hingga Rp9.000 per liter. Padahal, sesuai ketentuan resmi, Harga Eceran Tertinggi (HET) solar subsidi adalah Rp6.800 per liter. Selisih harga itu jelas bukan sekadar kebetulan, melainkan dugaan praktik sistematis.
Warga sekitar mulai bertanya-tanya: bagaimana bisa SPBU yang jelas-jelas berada di bawah pengawasan Pertamina berani bermain harga? Apakah ada pihak yang membekingi? Atau justru ada pola lama yang kembali berulang—BBM subsidi kerap menjadi lahan empuk permainan kotor di daerah.
Dugaan penyalahgunaan ini bukan sekadar masalah moral. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, yang kemudian diubah lewat UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, aturan mainnya jelas. Penyaluran BBM subsidi wajib tepat sasaran. Pada Pasal 55 UU Migas, tertulis tegas: siapa pun yang menyalahgunakan niaga BBM subsidi bisa dipidana hingga enam tahun penjara dan denda Rp60 miliar.
Artinya, jika benar SPBU 6478110 mempermainkan distribusi solar, maka konsekuensi hukumnya sangat berat. Bukan hanya sanksi administratif berupa pencabutan izin operasional, tapi juga ancaman pidana bagi pengelola maupun pihak-pihak yang terlibat.
Masyarakat Tanjung Hilir pun mendesak pemerintah dan aparat hukum segera turun tangan. Mereka menuntut BPH Migas, Pertamina, dan Kepolisian tak hanya melakukan sidak seremonial, tetapi juga investigasi serius. “Kalau dibiarkan, masyarakat kecil yang paling dirugikan. Solar subsidi bukan untuk permainan bisnis gelap,” ujar seorang sopir truk yang enggan disebutkan namanya.
Fenomena SPBU nakal ini sebetulnya bukan hal baru. Di berbagai daerah, kasus serupa kerap muncul: solar subsidi yang seharusnya menjadi jaring pengaman ekonomi rakyat kecil, justru menguap ke jalur ilegal. Mulai dari dijual ke industri, diselewengkan untuk kapal besar, hingga dimark-up harganya oleh SPBU sendiri.
Kasus SPBU 6478110 di Pontianak menjadi potret kecil bagaimana kebijakan subsidi negara bisa mandek di lapangan. Solar bersubsidi yang mestinya hadir sebagai penyelamat, berubah menjadi komoditas mahal. Pertanyaan besar kini menggantung: apakah aparat akan membiarkan praktik ini terus berjalan, atau ada keberanian untuk menindaknya dengan tegas?
Fakta temuan tim lapangan.