Terjebak dalam Penjara Romantisme -->

Header Menu

Terjebak dalam Penjara Romantisme

Admin Redaksi
Sunday, 14 September 2025

Oleh: Tendri Rudin


OPINI, Wartarepublik.com - Romantisme sering dipandang sebagai sumber emosi manusia yang diceritakan melalui kisah pengorbanan, kesetiaan, dan komitmen yang menyatukan dua hati. Namun, kita jarang menyadari bahwa romantisme bukan hanya kisah indah yang kita nikmati. Ia merupakan penjara yang tak terlihat, yang membatasi perasaan dan pemikiran kita, menjebak kita dalam kesakitan yang sulit untuk diatasi.

Kita diajarkan untuk mencintai tanpa syarat, untuk bertahan meskipun terluka, bahkan mengorbankan kebebasan demi menjaga hubungan. Kita dibekali mitos bahwa cinta sejati berkaitan dengan pengorbanan yang tiada batas, tentang kesetiaan meski disakiti, dan tentang menunggu walaupun kita terus merasakan sakit. Namun, kenyataannya, mitos ini bukanlah kebebasan. Ini adalah belenggu yang membuat kita terpenjara di area yang sempit, dalam penjara yang kita dirikan sendiri.

Saya pernah mengenal seseorang yang pergi dari hidup ini, tanpa alasan yang jelas. Ia menghilang, mungkin karena takdir atau jalan yang tak terduga, meninggalkan rumah yang kosong. Rumah tersebut bukan hanya sekadar kehilangan, tetapi juga penjara kenangan yang menyiksa.

Romantisme mengajarkan kita untuk merayakan kesedihan, menjadikan duka sebagai bagian tak terpisahkan dari cinta. Harapan-harapan yang tak kunjung selesai menjebak kita, begitu juga kenangan yang terus berulang di dalam pikiran. Ketika seseorang pergi, kita tidak hanya merasakan kesedihan atas kepergiannya, tetapi juga terperangkap dalam rasa bersalah, penyesalan, dan ketergantungan yang menyakitkan. Ali Bin Abi Tholib pernah menyatakan bahwa cinta harus diambil dengan berani atau ditinggalkan dengan lapang dada.

Pernyataan tersebut mengandung kekerasan yang tak nampak. Kekerasan yang membungkam diri kita sendiri. Kita diajarkan bahwa mencintai artinya menerima dan bertahan, bahkan ketika cinta menjadi sumber penderitaan. Apabila cinta dijadikan alasan untuk menutup mulut, membatasi kebebasan, atau mengorbankan kebahagiaan pribadi, kita bukanlah tengah mencintai, melainkan terjebak dalam penjara.

Secara lebih luas, romantisme adalah sebuah struktur yang didasari kekuasaan dan dominasi. Ia mengharuskan perempuan menjadi sosok pengorbanan yang sabar dan setia, sementara pria diberi keleluasaan untuk mengendalikan dan memutuskan. Romantisme memperkuat norma heteronormatif yang kaku, sekaligus membatasi ekspresi diri. Kita terpaksa mengikuti naskah yang telah ditulis masyarakat, tanpa kesempatan untuk merangkai cerita cinta yang autentik dan bebas. "Sistem kapitalisme telah memperpanjang cinta, kerinduan, dan secara halus membunuh Tendri,"

Romantisme juga merupakan alat kapitalisme yang sangat licik. Ia menjual ilusi kebahagiaan melalui produk dan budaya pop, dari film, lagu, hingga iklan, yang mengubah cinta menjadi barang yang harus dibeli dengan harga mahal. Namun, cinta yang dikapitalisasi justru memperdalam isolasi dan ketergantungan, menjadikan kita sebagai tawanan yang rela membeli belenggu penyesalan.

Ketika seseorang yang kita cintai memilih untuk pergi dari hidup kita, kita tidak hanya merasakan duka akibat kehilangan, tetapi juga menyadari bagaimana romantisme menjadi penjara yang menyulitkan kita untuk melepaskan diri dari ingatannya. Kita terjebak oleh kenangan, mitos, dan rasa sakit yang terus dipelihara.

Namun, menyadari adanya penjara ini adalah langkah pertama untuk membebaskan diri. Kita harus mau mengakui bahwa tidak setiap luka adalah indikasi cinta sejati. Mencintai tidak selalu berarti kehilangan diri. Kebebasan bukanlah pengkhianatan terhadap cinta, melainkan dasar dari cinta yang sehat dan bermartabat.

Romantisme bisa menjadi penjara. Namun, terdapat sebuah kunci yang dapat membuka jeruji-jerujinya. Kunci tersebut adalah keberanian, kesadaran, dan kejujuran terhadap diri sendiri. Melepaskan diri dari romantisme yang tidak nyata berarti menciptakan cinta baru yang tidak mengekang, yang menghargai kebebasan, dan yang memungkinkan kita berkembang tanpa rasa takut kehilangan.

Sebab, cinta yang tulus bukanlah tentang pengorbanan yang membunuh, tetapi tentang kebebasan yang membebaskan.