
Oleh: Ahkam Kurniawan Buamona.
OPINI, Wartarepublika.com - Dalam dinamika publik hari ini, sering muncul anggapan bahwa berita itu "huruf mati" sekadar rangkaian kata yang meninggalkan jejak tanpa makna atau pengaruh. Pandangan semacam ini tentunya sangat merendahkan fungsi sejati media, sekaligus meminggirkan peran rakyat sebagai subjek dan objek pemberitaan.
Namun sejarah dan kenyataan membuktikan berita itu hidup. Membentuk opini, membangkitkan kesadaran, sekaligus memancing aksi. Berita yang akurat dan bertanggung jawab bukanlah kata kosong belaka ia adalah denyut yang menghubungkan fakta, publik, dan kekuasaan.
Sanggahan ini ditujukan kepada mereka yang mereduksi berita menjadi arca tanpa jiwa. Bahwa berita tetaplah makna bergerak, bukan huruf yang dibiarkan mati. Namun, sebagai penyiar, berita yang baik dan kredibel sangat penting dan menuntun. Akan menyebar, diperbincangkan, kemudian diperdebatkan, ia menciptakan resonansi dalam ruang publik. Karena apabila benar berita itu "mati" bagaimana mungkin ia memicu reaksi di media sosial, komplain publik, serta tanggapan resmi lembaga dan pejabat?
Fenomena viral dan reaksi publik adalah bukti bahwa berita dan huruf-huruf dalam berita itu tidak mati. Ia dibaca, ditafsirkan, dan dibalas, dengan demikian berita adalah medium relasional, bukan monumen bisu.
Di Indonesia, peran media dan wartawan sangat penting. Berita tidak hanya tentang menyebarkan fakta, data dan realitas. Sebagai kuli tinta, wartawan dan kata-kata adalah satu objek yang tidak bisa ditafsirkan, setiap dari wartawan mempunyai kapasitas dalam memberikan muatan opini, fakta publik dan data lapangan. Sehingga itu jika kita menempatkan berita dalam posisi mati adalah memberi ruang sunyi kepada ketidakadilan, kebohongan, dan kekuasaan untuk berlaku sewenang‑wenang. Jika media tidak bisa memaknai fakta dan menyampaikannya, maka masyarakat pun tak punya alat untuk bertanya, merespon, dan mengorganisasi suatu kenyataan dan dinamika sosial yang ada hanyalah bunga-bunga tanpa sari.
Sejarah telah menunjukkan bahwa banyak wartawan independen mencatat dan menyuarakan penderitaan rakyat. Baik soal korupsi, pelanggaran HAM, maupun kebijakan tidak adil dan itulah alasan berita menjadi nadi kehidupan demokrasi. Dengan kata lain, menyebut berita sebagai "huruf mati" adalah melemahkan daya kritis masyarakat dan mengabaikan realitas.
Sebagai anak muda dan juga pers (wartawan) saya pribadi melihat berita akan bermakna dan tidak semerta-merta apabila itu dilandasi dengan etika jurnalistik, verifikasi, cek fakta, konfirmasi narasumber, serta pertanggungjawaban redaksi. Tanpa integritas itu, berita bisa berubah menjadi hoaks atau propaganda, akan tetapi bukan karena berita "mati" melainkan karena prosesnya tercemar.
Bagi saya jika berita dianggap tidak berdaya, artinya publik pun dibujuk untuk diam dan menerima sebuah realitas apa adanya. Karena anggapan berita mati hanya menyuburkan apatisme politik dan kecenderungan untuk memilih kebohongan yang tampak menarik dari pada kebenaran yang menantang.
Dan dalam konteks demokrasi, hal semacam ini sangat fatal. Ketika berita dikerdilkan ruang kritik menyempit, dan suara rakyat tercekam. Sebaliknya mengakui bahwa berita punya kehidupan mendorong rakyat untuk ikut menilai, menolak, dan memperbaiki. Karena berita itu adalah cermin dan pendorong perubahan, bukan relik yang ditatap tanpa makna, apabila kita jalankan dengan benar, satu berita akan mampu menerangi sudut gelap masyarakat. Dan Jurnalisme sejati mesti melawan ujaran mati, tidak membiarkan informasi hangus, melainkan memberi udara segar bagi kebenaran karena publik bukan penonton pasif, melainkan partisipasi aktif.
.png)