Dari "Ibu Asuh" ke "Alma Mater" Sebuah Refleksi Munculnya Istilah Sekolah -->

Header Menu

Dari "Ibu Asuh" ke "Alma Mater" Sebuah Refleksi Munculnya Istilah Sekolah

Admin Redaksi
Thursday, 30 October 2025

Oleh. M. Azrul Marsaoly

OPINI, Wartarepublik.com - Memaknai pendidikan itu sederhana, yaitu konsistensi menenun kebaikan. Ini, sepadan dengan pendapat Mutthahhari yang memandang pendidikan sebagai jalan penuntun agar menuju pada kebaikan akhlak. Tulisan ini, penulis hendak mendeskripsikan awal-mula lahirnya sebuah istilah yang cukup terbilang familyar, yaitu tentang "Sekolah".

Dalam proses pendidikan keberadaan guru dan murid tentu saling kelindan. Jika meminjam sebuah istilah biologi, maka guru dan murid hubungan simbiosis mutualisme amat relevan dilekatkan. Sebuah hubungan yang saling memberikan manfaat dan produktif.

Di Yunani, dulu orang tua juga belajar pada orang pandai --- yang bahasa sekarang disebut guru. Belajar tentang kehidupan. 

Seiring waktu berjalan, kesadaran orang tua muncul jika anak dalam menyulam visi dan menggapai cita-cita juga memerlukan orang pandai [guru]. Kebiasaan "luangkan waktu atau sekolah" untuk mengetahui sesuatu dengan mendatangi orang pandai itu kemudian diberlakukan bagi anak-anak, putra-putri mereka.

Kebiasaan yang diberlakukan bukan tanpa alasan, tetapi karena atas desakan perkembangan kehidupan yang beragam: kesibukan, agar anak lebih baik jika belajar langsung dengar orang pandai, dan lainnya.

Orang tua mengisi waktu luang anak-anak mereka dengan menyerahkannya kepada orang yang dianggap tahu dan pandai di suatu tempat tertentu yang dulu mereka pernah berskhole [belajar]. Di tempat inilah proses belajar dilakukan. Kegiatan "luangkan waktu" mengunjungi suatu tempat dan seseorang untuk belajar di sebut skhole, scola, scolae atau schola.

Di titik inilah cikal-bakal terminologi "Sekolah" bermula, yang berarti waktu luang. Para orang tua luangkan waktu anak-anaknya untuk belajar di tempat dan seseorang yang pandai. Sejak saat itulah, terjadi peralihan fungsi dari Scola Matterna [pengasuhan ibu sampai usia tertentu] menjadi scola in loco parentis [lembaga pengasuhan anak pada waktu senggang di luar rumah, sebagai pengganti ayah dan ibu]. ltulah sebabnya mengapa lembaga pengasuhan ini kemudian kerap disebut ibu asuh atau ibu yang memberikan ilmu [alma mater].

Para orangtua, seiring berjalannya waktu kemudian makin terbiasa sehingga memercayakan pengasuhan anak-anaknya kepada orang atau lembaga pengasuh pengganti mereka di luar rumah dengan jangka waktu yang cukup lama dan dengan pola yang semakin teratur. Proses belajar ini kemudian makin banyak anak yang diasuh, sehingga peraturannya lebih ditertibkan dan menambah jumlah pengasuh [guru] dengan imbalan jasa berupa upah dari para orang tua anak-anak.

Sejak saat itu, proses belajar kemudian lebih teratur dan berlangsung lebih baik. Perihal gagasan dan pola pengasuhan anak-anak secara sistematis, Johann Heinrich Pestalozzi, pada abad ke-18, tampil dengan gagasan yang lebih terinci. Gagasannya melangkah lebih jauh dengan mengatur pengelompokan anak-anak asuhannya secara berjenjang, termasuk perjenjangan urutan kegiatan [kemudian disebut mata pelajaran] yang harus dilalui secara bertahap. Selain itu, juga tentang pengaturan cara-cara mereka harus melalui pelajaran pada setiap tahapan menurut batasan-batasan khas dan terbaku.
Gagasan pelembagaan pola pengasuhan ini yang dikenal dengan nama 'Sistem Klasikal Pestalozzi'. Gagasan ini kemudian menjadi cikal bakal pola pelajaran sekolah-sekolah modem yang kita kenal sekarang dengan penjenjangan kelas dan tingkatannya.

Referensi:
Topatimasang, Roem. (2010). Sekolah itu Candu. INSISTPress: Yogyakarta.