Demokrasi Zaman Dahulu dan Demokrasi Masa Kini -->

Header Menu

Demokrasi Zaman Dahulu dan Demokrasi Masa Kini

Admin Redaksi
Sunday, 19 October 2025

Oleh: Muhajrin Umasangadji

OPINI, Wartarepublik.com - Demokrasi Zaman Dahulu. Hidup berdemokrasi memang baik, namun ada minusnya. Demokrasi bukan sekedar kebebasan berpendapat, Demokrasi sendiri bukan sistem yang baru, ia hadir sudah ribuan tahun silam. Mengutip buku Demokrasi dan Hak Asasi Manusia oleh Suarlin dan Fatmawati, definisi demokrasi secara bahasa berasal dari dua kata bahasa Yunani yaitu "demos" dan "cratein atau cratos". Sistem ini pertama kali dipakai oleh masyarakat Yunani kuno sekitar abad ke-5 SM. Cleisthenes adalah tokoh yang sering disebut sebagai "bapak demokrasi Athena". Ia melakukan reformasi penting sekitar tahun 507-508 SM untuk memberikan kekuasaan lebih kepada rakyat. Masyarakat Yunani diberikan kebebasan untuk berpolitik sesuai kebutuhan mereka masing-masing. setelah itu para filsuf Yunani mulai mengembangkannya, seperti Aristoteles,
Montesquieu, dan Alexis de Tocqueville.

Aristoteles sendiri mengagas buah pikir tentang demokrasi yaitu, prinsip demokrasi adalah kebebasan, karena hanya melalui kebebasanlah setiap warga negara bisa saling berbagi kekuasaan di dalam negaranya. Aristoteles mendeskripsikan demokrasi adalah kebebasan dan keadilan. Dari keadilan dan kebebasan masyarakat bisa menentukan nasib dan tidak ada tekanan dari negara. 

Sedangkan Montesquieu membagikan sistem pemerintahan menjadi tiga bagian atau lebih dikenal sebagai Trias politica. Legislatif, eksekutif, dan yudikatif, gagasan ini menjadi bentuk sistem yang independen tampa ada intervensi satu dengan yang lain. Perpisahan topoksi kerja agar tidak ada kepentingan sepihak. Sistem ini juga dikenal sebagai check and balances. Sekarang Indonesia menganut sistem tersebut dalam tubuh pemerintahan. Montesquieu juga mengatakan, demokrasi adalah sistem kekuasaan yang dimana rakyat memegang kekuasaan tertinggi. Sedangkan jika kita membuka Undang-undang Dasar 1945 terletak pada Pasal 1 ayat 2, yaitu  "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar".  namun disitu terikat dengan hukum, artinya kebebasan memang dimiliki oleh rakyat tetapi ada instrumen hukum yang mengatur tatanan rakyat.

Ketika, pada tahun 1831, Alexis de Tocqueville juga punya konsep tentang demokrasi namun demokrasi Alexis de Tocqueville, ia lebih merujuk pada negara Amerika Serikat. Dalam analisisnya, ia menemukan kebebasan diatur oleh hukum. Alexis de Tocqueville berkiprah pada revolusi Prancis, ketika ia berusia tiga puluh tahun, ia mulai studinya tentang Demokrasi di Amerika. Ia sendiri seorang penganut agama Kristen yang taat. Alexis de Tocqueville menggas buah pikir yang kita kenal dengan Democracy in America, dalam kacamatanya, ia melihat demokrasi Amerika memang mewujudkan kesebebasa, kesejahteraan tapi melahirkan tirani mayoritas, kediktatoran lunak (soft despotism). Dia menekankan masyarakat sipil yang aktif, kebebasan pers, sekaligus peran agama dalam membentuk moral masyarakat.

17 Agustus 1945, lahir sebuah negara yang kita kenal dengan Indonesia, namun Indonesia ini diambil dari kata mana sih?, padahal kita dulu belum kenal yang namanya Indonesia, kita masih disebut nusantara atau hindiabelanda ketika penjajahan Belanda itu berlangsung. Nama negara kita sendiri bukan hasil pikiran dari tokoh-tokoh Indonesia, nama ini diambil dari seorang peniliti asal George Samuel Windsor Earl menyebutkan istilah Indonesia “Indunesians”. Ia mengambil istilah tersebut karena melihat orang-orang pada saat itu kulit berwarna cokelat yang menghuni Kepulauan Hindia. Nama ini ditulis George dalam jurnal berjudul “On The Leading Characteristics of the Papuan, Australian, and Malay-Polynesian Nations”. Ia terinspirasi ketika melihat orang-orang Papua pada saat itu. Menjelang beberapa tahun ia mengubah nama itu menjadi Melayunesians ia merasa nama ini lebih cocok pada pribumi saat itu. 

Pada tahun 1850 muridnya yang berasal dari Skotlandia James Logan, merevisi istilah itu menjadi Indunesians ia merasa istilah ini lebih cocok sebagai geografis dari pada etnografis. Ia adalah orang pertama yang menggunakan kata Indonesia di kawasan geografi di Kepulauan Indonesia. Kemudian, pada tahun 1884 seorang ahli etnografi asal Jerman, Adolf Bastia mulai memperkenalkan istilah baru yaitu Indonesia, yaitu “Indonesien”. Istilah ini muncul dalam karyanya yang berjudul “Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel”. Istilah ini terus dipakai hingga Soekarno memproklam?rkan kemerdekaan.

Setelah Indonesia berdiri sendiri sebagai negara merdeka, seiring berjalannya hari, sistem pemerintahan pun disusun dan lagi-lagi sistem demokrasi yang dipakai dalam perut pemerintahan. Soekarno dan Muhammad Hatta ketika menahkodai Indonesia, mereka dan kawan-kawan mengagas konsep demokrasi agar Indonesia tidak dijajah kembali, Hatta sendiri belajar sistem demokrasi dari pendidikan di Eropa. Hal ini memotivasi untuk merapat di Indonesia, sebab Demokrasi akan memberikan kebebasan pada rakyat. Demokrasi Indonesia sendiri memiliki beberapa tahap, Demokrasi Parlementer, Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Pancasila, Demokrasi Reformasi. Tahun 1999-2002 masa keemasan dan kejayan demokrasi dimana pada saat itu kebebasan sepenuhnya diberikan kepada rakyat, dibawah tangan Bj. Habbie rakyat merasakan semuanya. Dalam tulisan ini kenapa saya tidak membahas zaman orde baru, karena disana demokrasi mati, semuanya dikuasai oleh militerisme dan Pembantaian terhadap rakyat.

Demokrasi Masa Kini:

Apakah sekarang demokrasi masih hidup?. Kalau memang dia hidup dimana sih demokrasi itu?, kok susah banget kita mengaksesnya!. Indonesia mengalami degradasi demokrasi, jika kita melihat konsep dari filsuf sebelumnya mereka kebanyakan mendefinsikan demokrasi sebagai kebebasan. Mirisnya disaat ini kebebasan itu telah ditelan oleh topeng kekuasaan. Hukum menjadi alat dari pihak korporasi. Indonesia di masa kepemimpinannya jokowi mengalami kegagalan. Hirilisasi Nikel berjalan mulus tampa ada hambatan. Penerapan politik uang dilakukan secara vulgar. Meski sekarang banyak produk hukum dikeluarkan namun akuntabilitas dan transparansi masih tertinggal. 

"Kritik publik bukan kejahatan, ia bagian dari demokrasi". Politik kekuasaan sekarang lagi marak-maraknya, di birokrasi pemerintahan terjadi begitu penerapan nepotisme sangat lancar. Tahun 2024 terjadi pesta demokrasi, dalam pertarungan politik pada saat itu, terjadi ketimpangan demokrasi ada kepentingan dari jokowi untuk melagengkan anak sulung untuk bertaruh. Persoalan ini bermula ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi Pasal 169 huruf q UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu.  sayangnya disana putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.90/PUU-XXI/2023 itu digunakan anak sulung Presiden Joko Widodo yakni Gibran Rakabuming Raka untuk mendaftar sebagai Calon Wakil Presiden (Cawapres) berpasangan dengan Prabowo Subianto sebagai Calon Presiden (Cawapres). Jika kita tinjauan lebih dalam ternyata didalam ada keterikatan keluarga dari jokowi.

"Indonesia mengalami krisis demokrasi". Demokrasi Indonesia menghadapi tantangan serius, berbagai demonstrasi besar-besar dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat dan mahasiswa. Tragedi meninggalnya Affan Kurniawan, pengemudi ojek yang dilindas oleh barak Brimob menjadi pusat perhatian internasional. Dikondisini saat ini juga, berbagai sikap Represif terjadi begitu masif, Masyarakat dan mahasiswa menjadi korbanya. Seorang pakar hukum akademisi Fakultas Hukum di University of Melbourne, Tim Lindsey menjelaskan bahwa demokrasi hanya bisa hidup jika masyarakat sipil berani mengkritik pemerintah. Lindsey menilai bahwa masyarakat sipil merupakan pilar kelima demokrasi setelah eksekutif, legislatif, yudikatif, dan media. Fungsi masyarakat sipil bukan sekadar menyalurkan aspirasi, tetapi juga memastikan pemerintah tidak melampaui batas kekuasaan. Jumat (29/8/2025).

Sedangkan di Maluku Utara sendiri demokrasi hanyalah ilusi, penangkapan 11 warga adat Maba Sangaji menjadi pusat perhatian, pasalnya dalam penangkapan tersebut terjadi Abuse of power, dimana pemerintah menjadikan hukum sebagai tameng untuk melindungi investasi pertambangan, padahal mereka hanya menyuarakan keresahan masyarakat akibat aktivitas pertambangan itu, hutan-hutan mereka telah gundul, air sungai dicemari. Mereka coba melakukan penolakan aktivitas tambang, tapi lagi-lagi mereka dicap sebagai penjahat akibat melawan pertambangan, setelah melalui fase penyelidikan di Polisi daerah Maluku Utara (Polda Malut) mereka kemudian ditetapkan sebagai tersangka. Hal ini membuat kekecewaan dan kepercayaan rakyat terhadap demokrasi telah hilang, padahal jelas bahwa didemokrasi kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat. Setelah melalui sidang demi sidang akhirnya Hakim Vonis 11 Warga Adat Maba Sangaji 5 Bulan 8 Hari Penjara, Tak Dianggap Pejuang Lingkungan. Padahal Pasal 66 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) dan diperkuat dengan berbagai peraturan turunan, seperti Permen LHK No. 10/2024, Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1/2023, dan Pedoman Jaksa Agung No. 8/2022. 

Bagimna Menerapkan Demokrasi yang Benar?

Dalam penerapan demokrasi yang benar, negara harus melindungi suara dari rakyat, karena sistem demokrasi kekuasaan penuh ditangan rakyat dan pemerintahan melindungi itu dalam konstitusional. Oleh karena itu, upaya membangun demokrasi yang adil, jujur, dan kebebasan penentuan nasib negara harus melibat penuh aspirasi dari rakyat, atau lebih tepatnya legitimasi. Satu hal paling penting dalam penerapan demokrasi yang kita jalankan harus bermuara pada nilai kemanusiaan karena secara filosofis prinsip demokrasi adalah merangkul dan mengakomodasi suara rakyat baik mayoritas maupun minoritas demi terciptanya suatu masyarakat yang adil, makmur, dan beradab.

"Jika menginginkan demokrasi yang sehat, harus ada partisipasi suara dari rakyat, agar bisa mendapatkan niali demokrasi didalamnya". Suara dari rakyat menentukan arah jalannya negara Indonesia, jangan hanya menjadikan rakyat sebagai alat untuk mengakomodasi kepentingan politik, jadikan rakyat sebagai penggerak bangsa. Bangsa yang besar dilihat dari kemakmuran rakyat, bukan kemakmuran pejabat.

Dalam menghadapi tantangan demokrasi deliberatif di Indonesia, langkah-langkah perbaikan perlu diambil secara holistik. Diperlukan upaya bersama antara pemerintah, masyarakat sipil, dan lembaga-lembaga ilmiah untuk menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan demokrasi deliberatif di Indonesia. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan bahwa Indonesia dapat terus maju dalam membangun demokrasi yang inklusif dan berkelanjutan. "Deden Abdul Kohar Yusuf Gautama".