Oleh: Syahnakri CiliuPOINI, Wartarepublik.com - Kami, Pengurus Sentral Organisasi Pelajar Mahasiswa Indonesia Halmahera Timur (SeOPMI HALTIM) Maluku Utara, periode 2025–2026, menyatakan penolakan terhadap rencana kunjungan Wakil Presiden Republik Indonesia, Gibran Rakabuming Raka, ke Kabupaten Halmahera Timur.
Kunjungan tersebut direncanakan untuk meninjau proyek irigasi di Desa Akedaga, Kecamatan Wasile Timur, sebagaimana disampaikan Bupati Halmahera Timur pada 9 Oktober 2025. Proyek irigasi ini disebut sebagai bagian dari program strategis nasional untuk mendukung ketahanan pangan. Namun, kami menilai kunjungan tersebut tidak mencerminkan kepedulian terhadap situasi krisis struktural yang tengah dihadapi oleh masyarakat di Halmahera Timur.
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa ketahanan pangan dan kesejahteraan petani yang digadang-gadang oleh pemerintah justru tengah berada dalam ancaman serius. Pada 13 April 2025, terjadi pencemaran saluran irigasi yang menjadi sumber utama kehidupan petani di wilayah Wasile Timur. Dugaan kuat pencemaran tersebut berasal dari aktivitas pertambangan yang dilakukan di wilayah hulu sungai. Hingga kini, tidak ada langkah tegas dari pemerintah daerah maupun pusat untuk menghentikan kerusakan ini, yang semakin memperlihatkan bahwa proyek pembangunan yang dibawa oleh negara berdiri di atas penderitaan rakyat.
Kemudian pada 18 Mei 2025, sebanyak 11 masyarakat adat Maba Sangaji ditangkap oleh aparat Polda Maluku Utara karena mempertahankan wilayah adatnya dari ancaman ekspansi perusahaan tambang PT. Position. Saat ini mereka masih ditahan di Rutan Kelas II Soasio, Kota Tidore. Ini adalah bentuk nyata dari kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang memperjuangkan ruang hidupnya. Negara, melalui aparatnya, justru melindungi kepentingan modal dan industri tambang, ketimbang memenuhi kewajibannya untuk melindungi hak konstitusional warga negara.
Di tengah situasi semacam ini, kehadiran Wakil Presiden RI justru dianggap sebagai bentuk simbolik belaka, tanpa membawa solusi nyata terhadap masalah-masalah mendasar yang dihadapi masyarakat Halmahera Timur. Kunjungan untuk meninjau proyek irigasi menjadi ironi ketika fakta di lapangan menunjukkan bahwa irigasi yang ada justru tercemar dan tidak dapat lagi digunakan sebagaimana mestinya. Proyek strategis nasional kehilangan makna ketika wilayah yang menjadi basis pertanian justru dihancurkan oleh investasi ekstraktif yang tak terkendali.
Olehnya Sehubungan dengan kondisi tersebut, kami menyatakan sikap menolak kedatangan Wakil Presiden RI ke Halmahera Timur apabila tidak disertai dengan agenda penyelesaian konflik agraria, perlindungan masyarakat adat, dan pemulihan lingkungan. Kami menuntut agar 11 masyarakat adat Maba Sangaji yang saat ini ditahan segera dibebaskan tanpa syarat. Kami juga mendesak agar pemerintah menghentikan seluruh aktivitas pertambangan yang terbukti merusak lingkungan dan melakukan audit lingkungan secara independen. Negara harus hadir untuk melindungi rakyat, bukan untuk memperkuat dominasi korporasi atas ruang hidup masyarakat.
Kedatangan Wakil Presiden di Halmahera Timur tanpa menyentuh persoalan mendasar masyarakat hanyalah bentuk politik simbolik yang kami tolak. Negara telah gagal hadir untuk petani, gagal melindungi masyarakat adat, dan justru menjadi pelindung modal. Kami tidak butuh seremoni, kami butuh keadilan ekologis dan jaminan atas ruang hidup kami. ini juga mencerminkan suara kegelisahan masyarakat akar rumput yang selama ini tidak pernah mendapat ruang dalam perumusan kebijakan nasional maupun daerah.
Penolakan terhadap kedatangan Wakil Presiden bukan sekadar reaksi spontan, tetapi bagian dari perlawanan terhadap ketidakadilan yang terus diproduksi oleh sistem politik dan ekonomi yang timpang. Halmahera Timur bukan panggung pencitraan, melainkan tanah yang sedang berteriak untuk diselamatkan dari kehancuran.
.png)