Hukum Besi Demokrasi: Saat Rakyat di Jadikan Boneka -->

Header Menu

Hukum Besi Demokrasi: Saat Rakyat di Jadikan Boneka

Admin Redaksi
Saturday, 11 October 2025

                            Oleh: Ikhi Tuguis

OPINI, Wartarepublik.com - Demokrasi, dalam teori klasiknya, disebut sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Namun dalam praktiknya, demokrasi sering kali terjebak dalam apa yang disebut sebagai “hukum besi demokrasi” sebuah paradoks yang menjelaskan bagaimana idealisme demokrasi pada akhirnya tunduk pada logika kekuasaan dan kepentingan elite.

Konsep “hukum besi oligarki” yang pertama kali diperkenalkan oleh Robert Michels menyatakan bahwa setiap organisasi demokratis pada akhirnya akan dikuasai oleh segelintir elite yang memiliki kontrol terhadap sumber daya politik. Prinsip ini kemudian bertransformasi menjadi apa yang kita sebut “hukum besi demokrasi”: di mana demokrasi yang seharusnya menjamin partisipasi rakyat justru menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan elite yang sudah mapan.

Dalam konteks hukum, fenomena ini terlihat jelas. Produk hukum yang lahir dari sistem demokratis sering kali tidak merepresentasikan aspirasi rakyat, melainkan mengakomodasi kepentingan politik dan ekonomi kelompok tertentu. Proses legislasi menjadi simbol formal partisipasi rakyat, namun substansinya kerap jauh dari nilai-nilai keadilan sosial yang dijanjikan konstitusi. Hukum yang idealnya menjadi alat kontrol kekuasaan, justru menjadi alat kekuasaan itu sendiri.

“Hukum besi demokrasi” bekerja dengan sangat halus. Ia menormalisasi ketimpangan dalam mekanisme yang tampak demokratis: pemilu tetap berjalan, partai politik tetap aktif, dan parlemen tetap bersidang. Namun semua itu sering kali menjadi ritual formal tanpa makna substantif. Rakyat memang memilih, tetapi pilihan mereka sudah dibatasi oleh sistem politik yang dikendalikan oleh modal, jaringan, dan kekuasaan.

Akibatnya, demokrasi kehilangan jiwa moralnya. Demokrasi berubah dari idealisme partisipatif menjadi sekadar prosedural,sebuah sistem yang sah secara formal tetapi pincang secara etis. Dalam situasi ini, hukum tidak lagi menjadi panglima, melainkan pelayan kepentingan.

Dalam bingkai hukum tata negara, fenomena ini menimbulkan paradoks konstitusional. Di satu sisi, UUD 1945 menjamin kedaulatan rakyat dan supremasi hukum; di sisi lain, praktik hukum dan politik menunjukkan dominasi elite yang sulit ditembus. Maka, hukum besi demokrasi bekerja bukan karena rakyat tidak peduli, tetapi karena struktur hukum dan politik memang dirancang untuk mempertahankan status quo.

Solusi atas hukum besi demokrasi tidaklah sederhana. Ia membutuhkan revitalisasi etika demokrasi: menegakkan hukum bukan hanya berdasarkan prosedur, tetapi juga berdasarkan moral publik. Partisipasi rakyat harus lebih dari sekadar memberikan suara; ia harus bermakna dalam proses legislasi, pengawasan, dan penegakan hukum.

Pada akhirnya, demokrasi tanpa hukum yang berkeadilan hanyalah tirani yang disamarkan. Dan hukum tanpa moralitas rakyat hanyalah alat kekuasaan yang dilegalkan. Maka, melawan hukum besi demokrasi berarti mengembalikan hukum kepada nurani rakyat dan demokrasi kepada maknanya yang sejati.