Kritik Terhadap Kerancuan Analogi dan Arogansi -->

Header Menu

Kritik Terhadap Kerancuan Analogi dan Arogansi

Admin Redaksi
Wednesday, 1 October 2025

Oleh: Sahib Munawar, S. Pd., I. M., Pd 


OPINI, Wartarepublik.com - Sebuah anekdot datang dari seorang aktivis dan mahasiswa pascasarjana yang notabenenya sebagai pengiat filsafat. 

Aktivis dan mahasiswa pascasarjana ini mengkritik/memberikan sanggahan atas pernyataan dari seorang praktisi hukum yang menyamakan tindakan seorang pemimpin daerah (Bupati) dan Mukjizat Nabi Isa as yang dapat menghidupkan kembali orang mati dengan kehendak Tuhan, menyebut bahwa analogy semacam itu sangatlah serampangan atau secara cacat logika dikarenakan mengaburkan ranah hukum dan Agama yang bersifat transendental dan ini adalah qiyas fasid analogy.

Yang pertama: Kritik Soal kemukjizatan dan hukum dalam tafsir tematik. Mukjizat Nabi Isa yang mampu menghidupkan kembali orang yang sudah mati itu di interpretasi secara simbolik dengan metode hermeneutik: seperti kebangkitan dari ketidakadilan,kebobrokan sistem yang dimana kekuatan politik dan hukum kekuasaan dapat membawa perubahan dan keadilan di masyarakat. 

Penafsiran yang dinamis dan kontekstual memungkinkan teks keagamaan untuk tetap relevan dan memberikan panduan moral dan etika bagi kehidupan bermasyarakat di masa kini. teks Al-Qur'an bersifat historis dan budaya, sehingga pemahaman akan bergantung pada konteks penafsir dan zaman. Dalam hal ini, mukjizat dapat dilihat sebagai penanda zamannya atau metafora yang relevan untuk kondisi politik dan hukum saat ini, yang menuntut pembacaan ulang teks untuk menemukan makna dan relevansi baru bagi masa kini. 

Maka dalam hal ini saya mencoba mengunakan metode hermeneutik lewat seorang profesor yakni Nasr Hamid Abu Zayd. Teks Al-Qur'an bersifat historis dan budaya sehingga pemahaman akan bergantung pada konteks penafsir dan zaman. Mukjizat dapat dilihat sebagai penanda zamannya atau metafora yang relevan untuk kondisi politik dan hukum saat ini yang menuntut pembacaan ulang teks untuk menemukan makna dan relevansi baru bagi masa kini. 

Hermeneutika membantu memahami teks suci, seperti kisah Nabi Isa yang dipengaruhi oleh waktu, budaya, dan konteks sejarah yang berbeda. 

Hal ini memungkinkan kita untuk menemukan relevansi pesan mukjizat bagi kehidupan masa kini. Sebagai pengingat, bahwa ia harus lebih dalam membaca tafsir hermeneutik baik dari Naser Hamid Abu Zayd atau karya seperti Schleiermacher Hermeneutics and Criticsm, interpretasi teks dan kontekstual dan historis atau semacam Deridda tentang dekonstruksi. 

Yang kedua: kritik soal istilah transendental. Apakah transendental itu bersifat apriori seperti halnya Emanuel kant yang membentuk aka budi, yang membentuk pengetahuan kita, seperti ruang, waktu, dan kategori, dan tidak berasal dari pengalaman. Ataukah transendental nya Mullah Sadra al-hikmat al-muta'liyah realitas yang melampaui ranah materi, imajinasi, dan rasio murni, khususnya mengenai "gerak transubstansial" atau "eksistensi mendahului esensi", yang merujuk pada konsep "Yang Transenden" itu sendiri atau Tuhan dan dalam tradisi intelektual yang ada dalam filsafat Islam,seperti filsafat Peripatetik, Platonisme, ajaran Sufistik, dan teologi Islam.!
Kritik terhadap Aristotelian terhadap filsafat alam filsafat Peripatetik sebagai kebenaran paling rendah yang menyembunyikan fondasi metafisik aslinya dengan terlalu menekankan pada rasionalisme, sehingga akal cendrung mengaburkan alih alih menjelaskan intuisi Intekektual. 

Al-Ghazali misalnya yang menyempurnakan penghancuran terhadap kaum rasionalis di abad setelah al biruni dan doktrin Ibnu Sina terhadap gerak yang juga mengkritik kaum Stagira untuk menolak beberapa aspek fisika Aristoteles. 

Yang ke tiga: Tidak memahami Mantiq IsIam, Nabi Isa bukan pejabat negara dan Bupati bukan Nabi dan menyatukan keduanya dalam satu analogy adalah rancu dan ini ditolak oleh Al Farabi dan Ibnu Khaldun. Dalam hal ini ia menyebutnya rancu tanpa sadar ia sendiri juga terjebak dalam kerancuan. Dalam karya Ibnu Al-Farabi yakni Al-Madinah Al-Fadilah bahwa negara yang di pimpin oleh para nabi dan dilanjutkan oleh para filsuf dan penduduknya merasakan kebahagiaan. Al-Farabi juga menggambarkan bahwa negara yang utama/ideal yaitu negara yang dipimpin oleh seorang pemimpin yakni seorang Nabi dan Filsuf yang bijaksana dan berbudi pekerti tinggi.Pemimpin tersebut harus mampu bersikap adil dan bijaksana dalam mengarahkan rakyat menuju kebahagiaan serta pemimpin harus menjunjung tinggi pada prinsip-prinsip moral yang luhur. Memang Nabi Isa bukan pejabat negara dan Bupati bukan Nabi analogy menurut anda itu rusak, tapi lebih rusak lagi kalau anda sendiri tidak memahami kenabian lewat Al-Farabi dan konteks sosial yang dimaksud oleh seorang praktisi hukum.

Dalam sejarah IsIam Muatan dan spirit keberagaman agama apa pun yang lahir belasan abad lalu sudah pasti mengalami perkembangan karena zaman senantiasa berubah. Misalnya, dahulu ketika wahyu Alquran turun langsung terlibat dialog dengan persoalan politik dan sosial secara langsung dalam kurun waktu 23 tahun. Itu pun dipandu langsung oleh Nabi Muhammad SAW yang memperoleh otoritas tunggal dari Tuhan jika muncul perselisihan. Adapun pandangan ulama yang berkaitan dengan relasi agama ( Wahyu) dengan Kenegaraan adalah dua hal yang tidak bisa dilepas pisahkan dan Menurut Ibn Khaldun bahwa peranan agama sangat diperlukan dalam menegakkan negara. Ia melihat peranan agama dalam upaya menciptakan solidaritas dikalangan rakyat, kebenara dan rasa solidaritas akan mampu menjauhkan persaingan yang tidak sehat, justru seluruh perhatiannya terarah pada kebaikan dan kebenaran.

Saya sendiri tidak peduli tentang analogy yang dipaparkan, soal menyamakan Bupati dan Nabi bagi saya Bupati itu adalah jabatan yang di amanat kan oleh rakyat secara demokrasi. 

Aktivis dan mahasiswa pascasarjana ini seolah ingin mengajarkan kepada seorang praktisi hukum dengan berpikir logis lewat berbagai analogy mantiq padahal ia sendiri juga terjebak dalam kerancuan berpikir, narasinya penuh dengan ambisi disertai dengan sikap arogansi, supaya dilihat cerdas, padahal culas, dilihat sebagai seorang pengiat padahal dengan hasil pelagiat dengan cara mencomot berbagai macam referensi supaya dibilang cadas dan ini namanya kejahatan intelektual. Ia dengan sendirinya berapi-api menyerang dengan kritik tanpa otokritik. Dengan gaya narasinya dan kritiknya masih compang camping, karena dalam narasinya masih dalam pemula, ia berlaga manis dan arogan ketika studynya di pascasarjana Jakarta, ia menampilkan gaya elitenya layak seorang anak pejabat desa dengan pikiran yang borjuis. 

Benarlah apa yang dibilang oleh khalifah Umar Bin Khattab bahwa: 

Belajar itu ada tiga tahapan, tahapan pertama ia merasa sombong karena pengetahuan yang dimilikinyadan kedua sikap tawadhu ( rendah hati) karena ia sudah mengetahui dan memahami semuanya dan tahap ketiga merasa dirinya tidak tahu apa apa. Kata Socrates bahwa Saya tidak mengajar apapun kepada siapapun, saya hanya membuat mereka berpikir. 

Terakhir saya meminjam apa yang dikatakan oleh Mulla sadra bahwa penalaran yang tajam dan dalamnya dimensi mistik dan filsafat pengetahuan harus menyertai individu dalam pencarian akan kebenaran meskipun kebenaran itu dia datang dari manapun. 

Sekian Tiada gading yang tak retak semoga bermanfaat ( Sahib Munawar.S.Pd,I.M.,Pd)