Oleh: Immawan Akmal Matahari, Kader IMM OPINI, Wartarepublik.com - Pada pemilihan kepala desa (pilkades) desa moreala, yang kita ketahui bahwasannya di berbagai desa lain, yang menjadi perwujudan yang nyata sejatinya demokrasi lokal, yang memberikan peluang dan kesempatan kepada masyarakat untuk dapat menentukan orientasi pada pembangunan desa secara komprehensif dan secara aktif.
Dengan pilkades, masyarakat sangat diharapkan untuk bisa menentukan pilihannya terhadap pemimpin yang bisa menghadirkan keadilan, kesejahteraan, serta mampu memajukan desa. Akan tetapi, pada fakta yang terjadi dilapangan terbalik dengan apa yang diharapkan, pada semangat demokrasi lokal ini , kerap sekali dinamis dan menjadi panggung fanatisme politik praktis yang selalu merusak tatanan sosial, persaudaraan, dan mengikis apa yang menjadi nilai persatuan dan kebersamaan.
Fanatisme pada konteks pilkades bisa terlihat dari berbagai bentuk: konflik perpecahan antara sesama dikarenakan berbeda dukungan, bentrok sosial sejak pemilihan, sampai meluluh-lantahkan tali persaudaraan masyarakat yang selama ini merupakan kekuatan masyarakat di desa. Kemudian sebagaimana yang telah dikatakan oleh Soekarno, “Gotong royong adalah jiwa bangsa indonesia”.
Nah apabila semangat ini kemudian lenyap hanya dikarenakan perbedaan pada pilihan politik, maka apa yang menjadi tujuan utama dari pilkades yaitu membangun desa dan membuat perubahan dalam desa secara bersama akan keluar dan hilang dari nilai tersebut.
Masyarakat harus mempunyai kesadaran terhadap politik karena itu menjadi kunci yang utama supaya tidak terpolarisasi secara berlebihan. Mempunyai kesadaran untuk memahami bahwasannya pada konteks pilkades bukan merupakan pertarungan antar keluarga, dan kelompok, akan tetapi merupakan proses pencarian sosok pemimpin yang terbaik demi kemajuan dan kesejahteraan desa.
Dengan hadirnya demokrasi yang sehat serta dilandasi dengan pikiran sehat akan menuntut partisipasi yang rasional pula, bukan sentiment dan emosional. Kemudian apa yang telah dikatakan oleh Mohammad Hatta, bahwasannya” Demokrasi bukan hanya urusan suara terbanyak, tetapi juga soal tanggung jawab dan kesadaran rakyat.”
Desa moreala mempunyai potensi yang cukup besar, baik dalam sumber daya alam maupun sosial budaya. Desa moreala yang saat ini mempunyai BUMDes yang mengelolah sagu dan menjadikan produk tepung sagu berkualitas (https://kanaldesa.com/artikel/bumdes-moreala-membangun-pabrik-sagu-secara-modern).
Tetapi dari berbagai potensi yang ada tidak akan bisa berkembang jika masyarakatnya terus–menerus terbahwa arus dan terjebak dalam lawan politik yang berkepanjangan.
Seharusnya setelah momentum pilkades selesai, berbagai elemen desa bersatu kembali, untuk mendukung kepala desa yang terpilih, serta ikut untuk mengawasi proses jalannya roda pemerintahan desa dengan semanagat jiwa secara bersama. Ini merupakan wujud yang nyata dari kesadaran politik yang sehat dan dewasa.
Dengan kesadaran secara bersama-sama dapat diarahkan kepada pembangunan yang sifatnya partisipatif untuk memperkuat sektor kelembagaan di desa, serta membangun sektor ekonomi lokal yang ada, dam menanamkan rasa empati sosial.
Masyarakat desa mestinya bukan hanya berhenti berperan usai mencoblos di balik kotak suara, akan tetapi terus-menerus aktif untuk mengontrol serta mengawal program pembangunan desa.
Demokrasi di tingkat desa akan selalu mempunyai makna dan nilai baik, apabila masyarakatnya mempunyai rasa kepedulian dan tanggung jawab terhadap kemajuan desa bersama.
Pilkades yang beretikabilitas,bermoralitas, dan beradab bukan dinilai dari siapa menang siapa kalah, akan tetapi dari kemampuan masyarakat untuk menjaga keutuhan persatuan setelah momentum pilkades.
Saatnya masyarakat moreala membangun desa penuh dengan kesadaran nyata, bukan fanatisme dan sentiment, maka dengan itu sesungguhnya mereka telah menanam benih dan memproduksi peradaban politik yang lebih matang dan bermartabat.
.png)