Oleh: Arjuna Basri, Penggiat Sahabat NulisOPINI, Wartarepublik.com - Sebagai Generasi yang hidup di tengah-tengah massifnya teknologi informasi dan komunikasi, kita akan sangat mudah mendapati informasi perihal kiprah mahasiswa di masa-masa sebelumnya mulai dari Orde Lama, Orde Baru (Orba) ataupun di masa Reformasi.
Dimana Mahasiswa begitu aktif dalam gerakan-gerakan sosial juga sangat kuat dalam mengawasi kerja-kerja penguasa. Ini sangat terlihat dari keterlibatan mereka dalam aksi demonstrasi besar, seperti gerakan Reformasi yang pada akhirnya mampu menumbangkan Rezim Orba yang berdiri kokoh selama 32 tahun itu.
Walaupun ruang demokrasi sangat sempit saat itu, mulai dari pelarangan diskusi-diskusi dalam kampus serta larangan menyebarkan paham kritis di kalangan kampus, tapi semangat mereka begitu kuat untuk runtuhkan rezim diktator akibat dari kemuakan yang sudah begitu lama. Pasca Reformasi, gerakan itu masih berlanjut walaupun dengan askalasi yang naik turun.
Berangkat dari perjalanan yang panjang itu, mahasiswa dianggap sebagai satu kekuatan penting dalam sejarah bangsa dan sering dijuluki sebagai aktor-aktor perubahan. Peran yang selalu dilekatkan pada mahasiswa adalah sebagai "agent of control", "agent of change", dan "agen of social forces".
Belakangan, peran ini semakin terkikis dengan kenyataan di lapangan dimana gaya hidup mahasiswa yang hedon, dan lebih sibuk pada konten-konten tiktok yang terupdate ketimbang dengan menyibukkan diri dalam semangat literasi. Hampir di setiap sudut-sudut kampus, kita jarang menjumpai lingkaran-lingkaran kecil yang sibuk dengan aktivitas membaca dan diskusi ilmiah dan kritis. Fenomena ini semakin memperjelas bahwa mahasiswa mulai kehilangan jati diri yang sesungguhnya. Jati diri yang sangat ditakuti oleh penguasa dari masa ke masa.
Fenomena ini tentu saja berkonsekuensi hilangnya mahasiswa yang berpikir kritis dan cenderung apatis. Dengan hilangnya partisipasi mahasiswa dalam isu-isu sosial membuat mahasiswa menjadi minim empati dan lebih individualis. Dan parahnya lagi, kekuasaan yang tidak pro rakyat akan semakin leluasa menindas karena tidak ada pengawasan dari gerakan mahasiswa yang kritis.
Kultur mahasiswa saat ini harus dianggap sebagai satu urgensi yang harus segera diselesaikan. Sudah saatnya jiwa-jiwa kritis dan semngat literasi itu harus dimunculkan kembali. Titik berangkatnya, mahasiswa harus terorganisir dalam satu wadah progresif, yang mana wadah itu kita jadikan sebagai ruang berproses. Bayangannya, organisasi ini yang akan aktif dalam agenda lapakan baca sekaligus lapakan diskusi terkait masalah sosial. Hal ini tentu saja untuk menstimulasi minat baca dan lama kelamaan akan terbiasa. Ini juga bisa melatih kepekaan sosial.
Dan pentingnya memberikan edukasi dan pemahaman yang inti agar paradigma kita tidak terpacu pada satu titik atau satu perspektif saja. Sebab saya mengutip apa yang di katakan Pramoedya Ananta Toer bahwasanya "Bangsa yang rendah dalam literasi akan selalu rendah dalam peradaban".
.png)