Oleh: Muhajirin Umasangadji
OPINI, Wartarepublik.com - Literasi menjadi pijakan awal dalam mengasa pengetahuan,ia bukan sekedar bergaya-gayan sebagai akademik atau kaum intelektual. Diberbagai sektor juga penting untuk mengembangkan literasi. Sebagai masyarakat, literasi adalah sebuah wadah untuk menajamkan daya pikir kritis, mirisnya jika tidak ada kesadaran terhadap hal itu, maka akan menimbulkan kebodohan massal.
Para filsuf terdahulu juga menekankan pentingnya literasi. Socrates, misalnya, ia menekankan pentingnya "mengenal dirimu sendiri" melalui dialog dan pemikiran kritis, yang merupakan bentuk literasi intelektual. Dengan instrumen literasi, seseorang dapat membentuk pola pikir yang lebih luas dan dalam.
Apalagi diera sekarang, jika kita berkunjung ke kampus-kampus negeri maupun swasta disana kita dipertontonkan dengan penampilan fashion show. Mahasiswa lebih tertarik pada dunia outfit dibandingkan berliterasi, mereka menganggap itu sebagai budaya kuno atau tidak ada gunanya, sehingga di sebagai besar kampus-kampus mengalami degradasi literasi, penurunan minat baca, bukan hanya soal outfit/ gaya berpakaian, tetapi trend media sosial juga telah merasuki mereka, dimana kita akan jumpai joget-jogetan didepan kamera menjadi hal yang normal. Mereka lebih asik dengan hal-hal tersebut dibandingkan mengonsumsi isi kepal orang dalam buku.
Perkembangan zaman juga mempengaruhi literasi, spesifiknya adalah Ai, ia juga memiliki dampak positif yaitu membantu mengerjakan tugas mahasiswa secara simpel, namun hal ini akan berpengaruh pada minat baca mahasiswa, mereka akan lebih asik mencari referensi yang cepat dibanding susah payah membaca buku.
Jika kita merujuk pada pemikirannya bapak Republik Indonesia yaitu Tan Malaka, beliau pernah mengatakan "Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda". Dalam kutipan ini, Tan Malaka menekankan bahwasanya, sebagai anak muda harus menjadikan dirinya sebagai seorang agen perubahan, dimana ia lebih peka melihat problem sosial. Berdasarkan temuan UNESCO, minat membaca di Indonesia baru 1 per mil, jelas sangat rendah.
Selain itu kampus juga menutup diri. Sebagai lembaga pendidikan tertinggi, seharusnya kampus menyediakan ruang-ruang literasi untuk mahasiswa/mahasiswa. Pembukaman ruang demokrasi dalam tingkat perguruan tinggi akhir-akhir ini begitu masif, jika ditinjau dari aspek hukum, UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, disana tertulis jelas bagaimana kebebasan berpendapat, kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi ilmiah, serta mewajibkan penyelenggaraan pendidikan tinggi secara demokratis dan berkeadilan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, dan nilai budaya.
Literasi bertingkat mulai dari deskriptif hingga evaluatif, titik tertingginya adalah menciptakan kemampuan berpikir kritis yang dilekatkan pada realitas sosial, sebagaimana konsep Paulo Freire. Seharusnya pemikiran tidak dibelengguh, justru perlu dibebaskan untuk mendapatkan referensi yang lebih luas, dan buku adalah alat untuk mewujudkannya. Sayangnya diera sekarang kita jarang melihat suasana akademik seperti itu.
Lebih ironis lagi, pemerintah dan aprat keamanan dungu dalam memaknai literasi. Agustus 2025 Polisi menyita beberapa buku dari aktivis akibat melakukan demonstrasi. Padahal buku adalah alat untuk memperoleh pengetahuan. Polisi lebih jelih dalam melakukan penangkapan, masa buku dijadikan sebagai alat bukti, padahal buku tidak melukai seseorang, buku hanyalah buah pikir dari penulis. Pemerintahan seharusnya mengeluarkan kebijakan pendidikan gratis terhadap rakyat, karena hal tersebut bisa mengembangkan wawasan pikiran masyarakat.
.png)