Pulau Gebe: Hilangnya Bahasa Daerah di Tengah Arus Digitalisasi -->

Header Menu

Pulau Gebe: Hilangnya Bahasa Daerah di Tengah Arus Digitalisasi

Admin Redaksi
Thursday, 30 October 2025


Oleh: Abdulbar Mudi, Ketua Bidang PAO HPMPG

OPINI, Wartarepublik.com - Bahasa adalah jantung dari kebudayaan. Ia bukan sekadar alat untuk berbicara, namun sebagai ruang tempat nilai, Kultur, dan sejarah hidup bersama diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. di Pulau Gebe, Halmahera Tengah, bahasa yang sebelumnya menjadi nafas kehidupan masyarakat kini perlahan mulai hilang. Di delapan desa yang tersebar di pulau kecil itu, bahasa Gebe semakin jarang terdengar di bibir anak-anak muda. Di tengah derasnya arus digitalisasi dan perubahan sosial yang begitu cepat, bahasa daerah yang dulu menjadi kebanggaan kini nyaris terlupakan.  

Dalam kacamata penulis melihat, Generasi muda Gebe tumbuh di zaman yang serba terhubung dan beragam. Media sosial, teknologi komunikasi, serta mobilitas manusia membuat mereka berinteraksi dengan berbagai bahasa dari luar. Bahasa Indonesia dan Melayu Maluku Utara kini menjadi bahasa utama dalam percakapan sehari-hari, sementara bahasa Gebe hanya tersisa di antara percakapan orang tua di rumah-rumah panggung yang mulai sunyi. Pergeseran ini tampak sederhana, tetapi sesungguhnya membawa akibat atau jurang besar: hilangnya bahasa berarti hilangnya cara pandang terhadap dunia yang khas, serta hilangnya ikatan emosional yang menyatukan masyarakat dalam satu akar budaya.  

Bagi masyarakat Gebe, bahasa bukan sekadar bunyi. Ia adalah warisan moral, etika, dan kearifan yang terkandung dalam nilai-nilai kehidupan sehari-hari. Dalam bahasa Gebe terkandung makna tentang Falsafah kebersamaan, persaudaraan, dan rasa memiliki yang tinggi. Nilai-nilai itu dikenal sebagai “Faknon, Faraman, Fatdel, dan “Fasboso” menggambarkan falsafah hidup orang Gebe yang memandang masyarakat sebagai satu tubuh. “Faknon” mengajarkan bahwa sesama saudara tidak boleh saling membeda-bedakan, karena semua berasal dari satu akar. “Faraman” menanamkan nilai kehangatan dan kekuatan ikatan keluarga, lebih kuat dari baja dan lebih hangat dari bara. “Fatdel” menumbuhkan rasa memiliki, bahwa luka satu adalah luka bersama, sedangkan “Fasboso” mengingatkan agar setiap orang menjaga warisan leluhur dengan hormat dan kasih, bukan keserakahan. Nilai-nilai ini bukan sekadar ungkapan, tetapi napas dari seluruh kehidupan sosial orang Gebe.  

Namun Sayangnya, nilai-nilai luhur itu kini mulai memudar seiring menurunnya penggunaan bahasa daerah. Generasi muda di Pulau Gebe banyak yang menganggap bahasa nenek moyang mereka sebagai sesuatu yang kuno atau bahkan bahan olok-olok. Bahasa Gebe tidak lagi menjadi alat komunikasi utama, melainkan sekadar peninggalan masa lalu yang hanya dipakai dalam acara adat atau percakapan dengan orang tua. Ini menunjukkan gejala yang serius: bukan hanya bahasa yang hilang, tetapi juga jati diri dan kesadaran budaya yang melekat di dalamnya.  

Perubahan ini tidak terlepas dari dinamika sosial yang terjadi di Pulau Gebe. Seiring berkembangnya sektor pertambangan, banyak pendatang dari berbagai daerah datang dan menetap. Pulau kecil yang dulunya homogen kini menjadi multietnis, dengan ragam bahasa dan budaya yang berbeda-beda. Dalam interaksi sehari-hari, masyarakat akhirnya memilih menggunakan Bahasa Indonesia atau Melayu Maluku Utara agar lebih mudah dipahami semua pihak. Situasi ini memang mempermudah komunikasi, tetapi secara perlahan mengikis fungsi bahasa lokal sebagai perekat identitas kultural masyarakat Gebe.  

Bahasa daerah sesungguhnya memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Ia menjadi simbol kebanggaan dan lambang identitas yang membedakan satu komunitas dengan yang lain. Melalui bahasa, nilai-nilai budaya, cerita rakyat, dan pengetahuan lokal diwariskan. Dalam bahasa tersimpan jejak sejarah, ekspresi cinta, bentuk penghormatan, hingga cara masyarakat memahami alam dan kehidupan. Jika bahasa daerah hilang, maka bukan hanya kosakata yang lenyap, tetapi seluruh pandangan hidup masyarakat pun akan ikut sirna.  

Olehnya itu Masyarakat Pulau Gebe harus menyadari bahwa menjaga bahasa berarti menjaga warisan sejarah dan martabat. Bahasa adalah harta yang tak ternilai karena di dalamnya tersimpan pengetahuan dan filosofi hidup yang tidak bisa digantikan oleh bahasa lain. Setiap kali kita menggunakan bahasa Gebe dalam percakapan sehari-hari, sesungguhnya kita sedang melanjutkan tradisi panjang yang telah dijaga oleh para leluhur. Itulah bentuk penghormatan paling nyata terhadap sejarah dan asal-usul kita sebagai orang Gebe.  

Namun, di zaman modern ini, kesadaran itu kian lemah. Banyak anak muda yang lebih bangga meniru logat bahasa luar daripada berbahasa Gebe dengan fasih. Mereka tidak menyadari bahwa sikap itu perlahan memutus hubungan mereka dengan akar budaya sendiri. Bahasa yang dulu menjadi sumber kebersamaan kini terpinggirkan oleh arus globalisasi dan modernisasi yang serba instan.  

Oleh karena itu, upaya pelestarian bahasa Gebe menjadi hal yang mendesak. Revitalisasi harus dimulai dari lingkungan keluarga tempat pertama seorang anak mengenal dunia. Orang tua perlu kembali menggunakan bahasa Gebe di rumah, di antara percakapan sehari-hari, agar anak-anak tidak asing dengan bunyinya. Sekolah dan pemerintah daerah juga perlu berperan dengan memasukkan bahasa Gebe dalam kegiatan belajar atau program kebudayaan lokal. Media sosial dan teknologi pun bisa dijadikan alat untuk memperkenalkan kembali bahasa daerah, bukan sebagai barang antik, tetapi sebagai bagian dari kehidupan modern.  

Bahasa adalah rumah bagi jiwa manusia. Ketika seseorang kehilangan bahasanya, ia seolah kehilangan alamat asalnya di dunia. Digitalisasi dan modernitas memang tidak bisa dihindari, tetapi di tengah perubahan itu kita tidak boleh membiarkan akar budaya tercerabut. Bahasa Gebe harus hidup di setiap rumah, di setiap tawa anak-anak, dan di setiap kisah yang dituturkan malam hari. Karena di sanalah tersimpan seluruh ingatan, kasih, dan kebanggaan sebagai anak pulau.  

Pulau Gebe tidak akan benar-benar hilang selama bahasa Gebe masih diucapkan. Maka, menjaga bahasa berarti menjaga masa depan. Mari kita kembalikan kebanggaan itu, sebab bahasa bukan sekadar alat berbicara ia adalah nyawa dari identitas kita sebagai orang Gebe, sebagai anak dari tanah yang diwariskan dengan cinta oleh para leluhur.