
Oleh: Abadi Leko, ketua komisariat IMM Hukum Ummu.
?
?Gagasan pendirian Mahkamah Konstitusi (MK) sejatinya bukan hal asing. Mohammad Yamin, dalam sidang BPUPKI tahun 1945, pernah menyebut pentingnya sebuah lembaga pengawal konstitusi. namun ide tersebut tertunda selama lebih dari setengah abad karena dalam UUD 1945 versi awal, kewenangan pengujian undang-undang tidak secara eksplisit diatur, dan fungsi itu dibiarkan dalam kekosongan.
?
?Barulah pada era reformasi, dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 (2001), pasal 24C secara eksplisit menyebutkan pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan yang setara dengan Mahkamah Agung (MA), namun dengan fungsi yang sangat berbeda mengawal, menjaga, dan menegakkan konstitusi.
?
?Mahkamah Konstitusi dan Mandat Sejarahnya:
?
?Dalam bukunya yang berjudul Jalan Panjang Hingga ke Medan Merdeka Barat, Dr. I Dewa Gede Palguna hakim konstitusi periode pertama menjelaskan secara gamblang bahwa pembentukan MK tidak hanya merupakan mandat formal konstitusi, tetapi juga merupakan tanggung jawab sejarah Mahkamah konstitusi (MK) adalah lembaga yang dituntut menjadi pilar utama dalam penguatan demokrasi konstitusional di Indonesia.
?
?Palguna menulis dengan nada yang penuh refleksi dan idealisme. Ia tidak hanya melihat Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai institusi baru, tetapi sebagai tulang punggung sistem checks and balances dalam negara hukum modern. Dalam sistem presidensial seperti Indonesia, keberadaan lembaga penguji undang-undang menjadi vital untuk mencegah absolutisme legislatif dan menjaga keseimbangan kekuasaan
?
?Membangun Lembaga yang Belum Ada:
?
?Palguna secara jujur mengisahkan bahwa ketika dirinya pertama kali dilantik sebagai hakim Mahkamah Konstitusi (MK) lembaga tersebut belum benar-benar ada secara operasional. Tidak ada gedung, tidak ada SOP, tidak ada preseden, bahkan perangkat administratif dan sumber daya manusia masih minim. Namun tanggung jawab besar telah menanti publik berharap banyak dari Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menjadi garda terdepan dalam penegakan keadilan konstitusional.
?
?Dalam situasi yang sangat terbatas itulah, MK memulai tugasnya. Para hakim konstitusi pertama termasuk Palguna tidak hanya memutus perkara tetapi sekaligus membentuk struktur, tradisi, dan integritas kelembagaan. Inilah yang membedakan Mahkamah Konstitusi (MK) dari lembaga negara lainnya ia dibentuk bukan dari evolusi birokrasi, tetapi dari kehendak konstitusi.
?
?Budaya Konstitusional, Tantangan yang Lebih Berat:
?
?Palguna menekankan bahwa membentuk Mahkamah Konstitusi (MK) secara formal jauh lebih mudah daripada membangun budaya konstitusional. Lembaga bisa dibuat dengan undang-undang. Namun kesadaran masyarakat, elit politik, dan pejabat negara untuk tunduk pada konstitusi adalah proses yang jauh lebih kompleks dan memakan waktu.
?
?Ia menyebut bahwa meskipun Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, hal itu akan percuma jika produk legislasi tetap didorong dengan orientasi kekuasaan, bukan kepentingan publik. Dengan kata lain, Mahkamah Konstitusi (MK) bukanlah dewa dan tidak akan efektif bila dibiarkan bekerja sendirian tanpa dukungan budaya hukum yang sehat di lingkungan sekitarnya.
?
?Palguna dalam bukunya berkali-kali menyinggung istilah budaya konstitusi sebagai fondasi jangka panjang. Tanpa ini, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bisa saja tidak dihormati, ditafsirkan sesuka hati, atau bahkan diabaikan oleh lembaga-lembaga lain.
?
?Independensi Lembaga, Ruh dari Mahkamah Konstitusi:
?
?Satu catatan penting dari Palguna adalah peringatan terhadap intervensi politik terhadap Mahkamah Konstitusi, baik melalui revisi undang-undang, tekanan terhadap hakim, maupun manipulasi kewenangan. Baginya, independensi adalah syarat mutlak agar Mahkamah Konstitusi (MK) tetap menjadi penjaga konstitusi (The Guardians of constitution) yang kredibel.
?
?Ia mengkritisi beberapa upaya revisi UU MK yang hanya menyentuh aspek teknis seperti masa jabatan atau usia hakim tanpa menyentuh akar penguatan kelembagaan. Dalam pandangannya, revisi semacam itu justru mengindikasikan upaya mengontrol lembaga yudikatif demi kepentingan politik jangka pendek.
?
?Pengalaman Palguna membuktikan bahwa di awal berdirinya, Mahkamah Konstitusi (MK) bisa mengambil putusan-putusan yang berani justru karena para hakimnya menjaga jarak dengan kepentingan kekuasaan.
?Disinilah peran rakyat dan masyarakat sipil menjadi penting, menjaga agar Mahkamah Konstitusi tidak terjerumus menjadi alat politik kelompok tertentu.
?
?Pelajaran Bagi Masa Kini:
?
?Dua dekade telah berlalu sejak Mahkamah Konstitusi berdiri. Namun tantangan terhadap integritas, kewenangan, dan posisi Mahkamah Konstitusi (MK) masih terus muncul. Dalam konteks saat ini, ketika banyak terjadi pelemahan terhadap lembaga-lembaga negara, tulisan Palaguna menjadi semakin relevan.
?
?Ia mengingatkan kita bahwa konstitusi bukan hanya teks hukum, tetapi juga kontrak moral dan sosial yang harus dijaga bersama jika Mahkamah Konstitusi (MK) adalah penjaganya, maka semua pihak rakyat, DPR, pemerintah, akademisi, mahasiswa, dan media harus menjadi pagar hidup agar lembaga ini tidak terjebak dalam manipulasi kekuasaan.
?
?Menjaga Semangat Awal Pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK):
?
?Sejarah pembentukan Mahkamah Konstitusi adalah kisah perjuangan dan idealisme. Ia lahir bukan dari kemewahan, tapi dari kebutuhan. Ia tidak langsung kuat, tapi terus dibentuk oleh dedikasi para perintisnya. Dr. I Dewa Gede Palguna, melalui kesaksian bukunya, tidak hanya memberikan catatan sejarah, tetapi juga peringatan moral bahwa kekuasaan tanpa pengawasan akan merusak, dan Mahkamah Konstitusi (MK) ada untuk mengawasi itu.
?
?Kini, tugas kita bukan sekadar mempertahankan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga, tapi memastikan ruh dan semangat pendiriannya tetap hidup sebagai penjaga konstitusi, pelindung hak rakyat, dan pelaksana keadilan konstitusional.
?
?“Menjaga Mahkamah Konstitusi (MK) berarti menjaga Republik ini tetap waras di tengah hiruk pikuk politik kekuasaan.”
?
?
.png)