Oleh: Putri A S Makulua, Mahasiswi: Fakultas Hukum UMMUOPINI, Wartarepublik.com - Kebiasaan mengambil screenshot pada era digital ini sudah menjadi hal yang lazim dilakukan banyak orang untuk menyimpan informasi penting, termasuk percakapan pribadi di media sosial atau aplikasi chat. Namun, tindakan mengambil screenshot tanpa izin dari pihak lain dapat menimbulkan masalah terkait privasi.
Hal ini karena screenshot dapat memperlihatkan konten yang bersifat pribadi, seperti percakapan pribadi, data, atau gambar yang seharusnya hanya diketahui oleh orang tertentu saja. Oleh karena itu, screenshot yang diambil tanpa izin bisa dianggap sebagai pelanggaran privasi yang serius dan berpotensi menimbulkan konflik antarindividu.
Secara hukum, di Indonesia penyebaran screenshot tanpa izin yang berisi informasi pribadi dapat dijerat dengan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Screenshot yang memuat data pribadi tanpa persetujuan pihak terkait bisa dikenakan sanksi pidana berupa denda hingga penjara ,Pasal yang relevan dengan screenshot dalam UU ITE adalah Pasal 26 ayat (1), yang mengatur tentang penggunaan data pribadi tanpa izin.
Selain itu, bila screenshot tersebut mengandung unsur pencemaran nama baik, pelaku juga dapat dijerat pasal KUHP dan UU ITE dengan ancaman hukuman yang beragam, termasuk denda yang cukup besar. Kekhawatiran akan dampak hukum ini seharusnya menjadi bahan pertimbangan sebelum sembarangan mengambil atau menyebarkan screenshot.
Namun, screenshot juga dapat menjadi alat perlindungan diri:
Dalam situasi tertentu, seseorang mungkin perlu menyimpan bukti berupa tangkapan layar untuk tujuan pembelaan diri, atau sebagai dokumentasi penting dalam melaporkan tindakan yang merugikan atau melanggar hukum. Misalnya, dalam kasus pelecehan online, penipuan, atau tindak kriminal, screenshot bisa menjadi barang bukti yang sah dan dibutuhkan untuk proses hukum. Dalam konteks tersebut, pengambilan screenshot dengan maksud membela diri dan demi kepentingan umum atau perlindungan diri tidak dianggap melanggar hukum.
Di sisi lain, penting untuk memahami aspek etika dalam pengambilan dan penyebaran screenshot. Meskipun secara hukum screenshot dapat diperbolehkan untuk keperluan tertentu, tetap harus diiringi dengan rasa hormat kepada privasi orang lain. Meminta izin terlebih dahulu atau mengaburkan informasi sensitif saat membagikan screenshot merupakan langkah yang tepat agar tidak menimbulkan risiko hukum maupun konflik sosial. Penggunaan screenshot harus selalu disesuaikan dengan konteks dan tujuan yang jelas agar tidak disalahartikan sebagai tindakan yang melanggar privasi atau merugikan pihak lain.
Kesimpulannya, kebiasaan mengambil screenshot bisa menjadi bentuk pelanggaran privasi jika dilakukan tanpa izin dan niat yang tidak tepat. Namun, bila dilakukan untuk keperluan pribadi yang sah, dokumentasi pembelaan diri, atau kepentingan umum dengan memperhatikan aspek etika, screenshot justru bisa menjadi alat perlindungan diri yang penting. Oleh karena itu, sikap bijak dalam menggunakan screenshot sangat menentukan apakah tindakan tersebut termasuk pelanggaran atau perlindungan.
.png)