
Oleh: Abadi Leko
OPINI, Wartarepublik.com - Dalam sistem demokrasi konstitusional, kekuasaan yang besar seharusnya selalu diimbangi oleh mekanisme pengawasan dan pembatasan yang kuat. Namun dalam praktik ketatanegaraan Indonesia pascareformasi, kita justru menyaksikan kecenderungan kekuasaan eksekutif terutama presiden yang terus membesar tanpa kontrol yang memadai.
Sistem presidensial yang semula diharapkan menjadi bentuk pemerintahan yang efisien dan demokratis kini justru bergerak menuju bentuk baru yang disebut dengan istilah quasi-monarki elektoral, sebuah sistem dimana presiden terpilih justru menjelma menjadi sosok yang nyaris absolut dalam kekuasaan, layaknya raja dalam sistem kerajaan, namun dibungkus oleh legitimasi elektoral.
Presiden memang masih dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu yang sah secara prosedural. Namun setelah terpilih, ia menjalankan kekuasaan nyaris absolut dalam banyak aspek pemerintahan dari pembentukan kabinet, pengambilan kebijakan strategis nasional, pengangkatan pejabat tinggi negara, hingga pengendalian terhadap aparat penegak hukum. Pemilu lima tahunan tidak serta-merta menjamin bahwa kekuasaan presiden dibatasi secara substantif di sinilah letak persoalan mendasarnya.
Kekuasaan yang Terlalu Gemuk:
Setelah empat kali amandemen UUD 1945 pada periode 1999–2002, indonesia resmi mengadopsi sistem presidensial yang memisahkan secara tegas antara kekuasaan eksekutif dan legislatif. Presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tetapi kepada rakyat secara langsung, secara normatif ini adalah kemajuan demokrasi.
Namun dalam praktiknya presiden kini menjadi pusat dari seluruh roda pemerintahan tidak hanya sebagai kepala pemerintahan, tetapi juga sebagai pusat pengambilan keputusan politik nasional. Presiden memiliki wewenang eksklusif untuk mengangkat dan memberhentikan menteri, tanpa campur tangan DPR. Ia juga menjadi pengendali utama dalam perumusan kebijakan luar negeri dan pertahanan, serta memiliki akses langsung terhadap institusi penegakan hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan Agung, bahkan secara informal terhadap lembaga yudikatif.
Lebih dari itu, dominasi partai politik dalam sistem presidensial kita turut memperparah keadaan. Presiden sering kali didukung oleh koalisi partai yang sangat besar di parlemen, sehingga DPR tidak lagi menjalankan fungsi pengawasan secara kritis, tetapi justru menjadi perpanjangan tangan eksekutif. Parlemen berubah fungsi dari pengawas menjadi pendukung.
Lumpuhnya Mekanisme Checks and Balances:
Indonesia secara resmi mulai menganut dan menerapkan prinsip checks and balances sejak era reformasi, khususnya setelah amandemen UUD 1945 pada 1999–2002.
untuk mencegah konsentrasi kekuasaan pada satu tangan maka dianut lah mekanisme chesks and balances sebagai prinsip utama dalam demokrasi namun di Indonesia saat ini prinsip ini hampir lumpuh, tantangan terbesar adalah konsistensi penerapan prinsip tersebut dalam praktik, agar tidak hanya berhenti sebagai norma hukum, tetapi juga menjadi budaya politik yang hidup.
1. DPR Kehilangan Fungsi Kritis.
Parlemen kita kehilangan fungsi kritisnya akibat sistem koalisi besar. Koalisi partai pengusung presiden sering kali mendominasi lebih dari kursi di DPR. Dalam kondisi seperti ini, sangat sulit mengharapkan DPR menjalankan fungsi kontrol secara objektif terhadap presiden bahkan hak angket dan hak interpelasi nyaris tidak pernah digunakan secara serius.
2. Lembaga Yudikatif yang Terkikis Independensinya.
Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA), hingga Komisi Yudisial (KY) tidak luput dari intervensi politik. Beberapa keputusan mahkamah konstitusi (MK) dalam beberapa tahun terakhir termasuk yang terkait sistem pemilu dan batasan usia capres, telah menimbulkan polemik luas karena dinilai sarat kepentingan politik, Kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan pun ikut menurun.
3. Masyarakat Sipil dan Media yang Tertekan.
Di tengah semakin kuatnya eksekutif, bisa jadi ruang kritik dari masyarakat sipil juga menyempit. tak ayal banyak aktivis, akademisi, dan jurnalis yang menghadapi tekanan, atau pembungkaman saat menyuarakan kritik terhadap pemerintah. Hal ini semakin mempersempit ruang kontrol terhadap kekuasaan negara.
Demokrasi yang Terkikis Substansinya:
Jika kekuasaan presiden terus menguat tanpa pengawasan, maka yang tersisa dari demokrasi Indonesia hanya akan tinggal prosedur elektoral lima tahunan. Kita bisa memilih presiden, tetapi setelah itu kita kehilangan kendali atas jalannya pemerintahan sehingga demokrasi menjadi sekadar pesta elektoral bukan sistem pemerintahan yang menjamin keterlibatan dan perlindungan hak warga negara.
Kondisi ini sangat berbahaya Karena ketika kekuasaan tidak diawasi, maka penyalahgunaan kekuasaan hanya tinggal menunggu waktu. Dalam sejarah republik ini, kita sudah pernah mengalami betapa buruknya akibat dari konsentrasi kekuasaan di tangan satu orang, seperti pada era Orde Baru.
Perubahan yang sistemik:
Situasi ini mendesak kita untuk mempertimbangkan perubahan konstitusional yang terarah dan terbatas, guna mengembalikan keseimbangan kekuasaan, Perubahan yang dimaksud berfokus pada:
Memperkuat prinsip checks and balances antar lembaga negara, mempertegas batasan kekuasaan presiden, menjamin independensi lembaga pengawas dan peradilan, serta memastikan partisipasi publik dalam proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan.
Namun, perlu ditegaskan bahwa amandemen tidak boleh digunakan untuk memperpanjang masa jabatan presiden atau memperkuat kekuasaan eksekutif. Fokus utama harus pada pembatasan dan pengawasan kekuasaan, bukan perluasannya.
Demokrasi Harus Dijaga, Bukan Dihias:
Demokrasi bukan sekadar pemilu. Demokrasi adalah sistem yang menjamin keseimbangan kekuasaan, akuntabilitas pejabat publik, dan perlindungan hak warga negara. Ketika presiden menjadi terlalu kuat dan lembaga pengawas menjadi terlalu lemah, maka demokrasi berubah wajah menjadi kekuasaan satu arah yang dibungkus oleh prosedur elektoral.
Indonesia tidak membutuhkan raja baru yang dipilih lima tahun sekali, indonesia membutuhkan sistem pemerintahan yang adil, transparan, dan akuntabel.
.png)