Oleh: Sahib Munawar. S.Pd,I.M., PdOPINI, Wartarepublik.com - Kata Stupid ( Bodok) sering digunakan untuk komedi dalam cerita fiksi. Seperti Walter B. Pitkin menyebutkan bahwa: kebodohan sebagai kejahatan, tetapi dalam semangat yang lebih Romantis.
Dalam budaya Romawi, stupidus adalah orang yang disalahkan secara profesional dalam pertunjukan pantomim.
Pertunjukan pantomim itu ada persis dengan stupid yang menulis: Filsafat setelah si tolol" Autoimonitas kata yang diulang dengan dungu, ia menulis dengan gaya mengutip nama besar Walter Benjamin dalam paragraf pertamanya Tesis tentang Filsafat Sejarah bahwa setiap dokumen budaya merupakan dokumen barbarisme. Benjamin menolak pandangan historisis yang melihat sejarah sebagai sebuah proses yang linier dan tak terhindarkan menuju kemajuan. Menurutnya, pandangan ini mengabaikan kekerasan, penderitaan, dan kegagalan yang terjadi di masa lalu. Narasinya Benjamin ini dalam konteks apa dulu? Si stupid yang menulis dan ngutip Benjamin dalam tesis tentang Filsafat sejarah, tapi tidak punya kemampuan untuk memahami maksudnya!
Bagi Benjamin bahwa Sejarawan materialis harus menyisir sejarah melawan arah bulu untuk mengungkap penderitaan kaum yang tertindas. Dengan demikian, sejarah filsafat kehilangan martabatnya ketika ia hanya menyajikan narasi para penguasa dan gagal mengakui kekejaman yang ada.
Saya tidak menanggapi judul dari tulisan si stupid "Autoimonitas intelektual dungu" Bagi saya judul ini terlalu hominem untuk dirinya yang terlalu inklusif dengan ambisi menjadi hebat, dalam tanda kutip ( hebat dalam stupid) dengan istilah psikolog yang cocok untuk dirinya adalah "Paranoia" Khayalan terlalu tingkat tinggi. Ia mengira sedang menulis sambil berpikir, padahal yang ia lakukan adalah sedang menghayal, ia bukan menulis tapi menyalin dari kutipan ke kutipan.
Dalam hal ini mengingatkan saya dengan apa yang dikatakan oleh" Louis Gottschalk bahwa menulis adalah proses kritis yang jauh melampaui penyalinan, menulis adalah proses kreatif yang melibatkan interpretasi, sedangkan menyalin adalah tahap awal dalam mengumpulkan data, akan tetapi tidak cukup untuk menghasilkan karya sejarah yang orisinal sedangkan Andrea Hirata bilang bahwa" menyalin hanyalah tindakan mekanis seperti halnya mesin, sedangkan menulis adalah tindakan kreatif yang sarat makna.
Simpel saja bahwa Orang yang hanya mampu menyalin dianggap belum sepenuhnya menguasai keterampilan menulis, karena belum mampu menuangkan pemikirannya sendiri seperti si stupid dengan kutipan tulisan filsafat setelah si tolol autoimun intelektual dungu.
Si stupid menuduh saya, trauma, dendam dan ketersinggungan lewat tulisannya: Filsafat setelah si tolol menulis, autoimunitas intelektual dungu. Ia menulis untuk cerminan dirinya, seperti dari atas saya sudah sampaikan bahwa saya tidak akan menanggapi, karena terlalu hominem untuk menghindari dari kata Hominidae, menuduh dengan kata trauma, dendam dan ketersinggungan untuk apa semua itu dialamatkan pada hal-hal yang subjektif dan menanggapi hal seperti ini, bagi saya terlalu menguras energi yang mubazir.
Ia berusaha mengoreksi tulisan saya lewat metode hermeneutika Schleiermacher antara memahami dan menafsirkan secara metodis antara konteks dan teks, dari sini si stupid gagal memahami apa yang saya maksudkan lewat pendekatan hermeneutika Schleiermacher, ia terjebak pada dogmatis yang terselamatkan antara memahami dan menafsirkan bagi Schleiermacher pemahaman bergantung pada subjektivitas penulis pada saat penciptaan dan ini merupakan metode interpretasi yang mendalam dan embedded dalam pikiran penulis itu sendiri.
Memahami tidak sesederhana yang kita maksudkan, ia terlebih dahulu harus memahami dan menafsirkan untuk dirinya sendiri. Setelah memahami pesan-pesan itu bagi dirinya, ia baru menerjemahkan, menyatakan, lalu menyuratkan maksud pesan-pesan teks kitab suci itu kepada manusia.
Maka kiranya kita perlu membedakan dua hal, yaitu antara “memahami apa yang dikatakan dalam konteks bahasa dengan kemungkinan kemungkinannya” dan “memahami sebagai sebuah fakta di dalam pemikiran si penuturnya.
Si stupid gagal paham dengan klaim dari tulisan sampahnya bahwa: filsafat tidak mati ditangan orang tolol, ia hanya lumpuh sesaat dan kebisingan serta intelektual dungu dengan menggunakan istilah autoimunitas, kalimat ini tanpa disadari adalah mencerminkan dirinya sendiri. Ia seolah tampil sebagai ahli dengan klaim pegiat filsafat, tanpa kebijaksanaan, ia bukan pegiat tapi plagiat dengan dada membusung, tapi seperti drum/ tong kosong nyaring bunyinya"
Ia layaknya seperti kaum sofis di era Socrates, ia stupid belajar filsafat bukan untuk mencari akan kebenaran sejati tapi mencari pembenaran dirinya, seperti kaum sofis yang menjual jasa pengajaran retorika dan mengklaim tahu segalanya.
Plato bilang bahwa: kebenaran sejati, yang merupakan bagian dari kebijaksanaan adalah tidak ditemukan di dunia materi, tapi di dunia ide atau Bentuk.
Klaim akan pengetahuan tanpa memahami Bentuk adalah dangkal dan tidak autentik.
Ia bukan sombong intelektual, tapi sombong atas kebodohannya, ia jauh dari kata intelektual, maka dengan itu, ia layak mendapatkan sarkastis "stupid minus brainless" Tulisan sampahnya itu, seperti seorang pengemis yang minta dikasihanidikasihani, tulisan sampahnya penuh dengan false premise dan Argumen melingkar (circular reasoning) diatas awang yang penuh kabut. Ia menujukan ketololan dan klaim kedunguan, tapi tidak paham apa itu "dungu" Kalimat yang sering kita dengar, namun dari kalimat dungu itu sendiri punya arti lain yang sengaja di eja dan menjadi olok-olokan diruang publik: kalimat dungu sering dipakai oleh Rocky Gerung yang dijuluki sebagai presiden akal sehat dan filsuf, namun kalimat dungu ini menjadi kabur dengan arti bodok, tolol dll. Rocky Gerung sendiri pun keliru memaknai kalimat dungu ini, tanpa memahami dalam lintas sejarah dari kalimat dungu tersebut.
Mungkin kita terlalu miskin kosakata, seperti si stupid ini, atau Rocky Gerung, kalimat dungu adalah bentuk serapan dari kata Inggris “dunce”
Kata “dunce” sejak awal memang ditujukan untuk mengolok olok suatu kelompok yang dianggap oposisi. Dalam hal ini, kata “dunce” bermakna pengikut John Duns Scotus. Bisa dikatakan awal abad ke 16 adalah kelahiran kata “dunce” yang diserap menjadi “dungu” Namun dalam konteks ini tidak bermakna kebodohan/stupidity, melainkan pengikut mazhab pemikiran John Duns Scotus.
kata “dungu” berasal dari sebuah julukan bagi penganut mazhab pemikiran teologi. Kata "dunce” alih alih bermakna stupidity, justru merujuk pada sekumpulan orang-orang cerdas, jadi tidak apa-apa , jika ia menyebutkan saya dungu ( Dunce) /cerdas dan bukan si stupid.
Si stupid yang geger otak berbicara tentang logika tapi berakhir pada "logical fallacy" ia seperti seorang psikopat yang berdarah dingin, berambisi ingin membunuh orang lain, tapi ia mati ditangan lawannya sendiri. Ketika kita bernalar dengan generalisasi tersebut seolah-olah tidak ada pengecualiannya, maka penalaran kita mengandung Kekeliruan Kebetulan. Kekeliruan ini terkadang disebut" Kekeliruan Generalisasi yang Menyapu.
Maka dengan kalimat penutup bahwa: "Argumen yang panjang dan bertele-tele dapat menjadi "penutup" yang efektif untuk menyembunyikan logika yang cacat:
Sekian tiada gading yang tak retak semoga bermanfaat.
( Sahib Munawar. M., Pd)
.png)