Fenomena Pelecehan Seksual Dikampus, Kenapa Terus Berulang? -->

Header Menu

Fenomena Pelecehan Seksual Dikampus, Kenapa Terus Berulang?

Admin Redaksi
Tuesday, 18 November 2025

Oleh: Adeirma S. Mahmud, Pegiat: FORUM MENULIS ILMIAH. (FMI).

OPINI, Wartarepublik.com - Kampus adalah tempat lahirnya generasi cerdas, dan menciptakan generasi pelopor perubahan dan membawa kebaikan bagi bangsa dan negara. Namun alih alih, dosa besar dunia pendidikan yakni pelecehan seksual ramai lagi diperbincangkan ditengah masyarakat. 

Belakan ini kita sering membaca berita di media sosial fenomena mengerikan, dimana pelecehan seksual lagi marak-maraknya di dunia pendidikan. Kampus menjadi laboratorium pelecehan seksual, bukan malah menjadi tempat menambah ilmu. Lebih disayangkan lagi, pelaku-pelaku yang melakukan pelecehan mereka memiliki legitimasi jabatan sehingga digunakan untuk menjadi jembatan mempermudah harsat seksualnya.

Yang menjadi korban adalah pemuda, yang selalu disematkan dengan agent of change. Namun pemuda/mahasiswa hari ini berada pada posisi yang sangat mengkhawatirkan tidak hanya diluar pulau, tapi di wilayah kita , bahkan orang terdekat kita sendiri. 

Komnas Perempuan mencatat dalam Catatan Tahunan (CATAHU), pengaduan kasus kekerasan seksual di ranah pendidikan sepanjang tahun 2020-2024 Kekerasan seksual di perguruan tinggi menempati urutan pertama sebanyak 42 kasus (43%), pesantren atau pendidikan berbasis agama Islam menempati urutan kedua sebanyak 17 kasus (17,52 %) dan sekolah menengah (SMA/SMK) sebanyak 16 kasus (16,49 %).(komnasperempuan.go.id) 

Kekerasan seksual di perguruan tinggi baik verbal, fisik, maupun nonfisik makin meningkat. Pada 2022, terdapat 4.660 kasus kekerasan seksual di Indonesia, 27% terjadi di kampus. Berarti ada 1.258 kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi pada 2022. Berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) RI, per April 2024 sudah terjadi 2.681 kasus.

Data diatas bukan data prestasi, namun potret buram dunia pendidikan hari ini.Kasus kekerasan seksual merupakan fenomena gunung es, di mana kasus kekerasan seksual yang dilaporkan jumlahnya lebih sedikit daripada yang terjadi di lapangan. Banyak korban yang memilih diam dan tidak melaporkan kasusnya. Banyak alasan korban yang tidak melapor. Takut disalahkan,tidak percaya, disudutkan oleh lingkungan sosialnya, hingga minimnya kepercayaan terhadap mekanisme internal kampus membuat sebagian besar kasus tidak perna dilaporkan.

Solusi persoalan kekerasan seksual di kampus dengan mengeluarkan Permendikbudristek 30/2021 yang mengharuskan setiap kampus membentuk Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Disusul regulasi terbaru, yaitu Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) 55/2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi. Tugas diwujudkan dengan pembentukan satuan tugas (satgas) di setiap perguruan tinggi yang bertugas melakukan pencegahan, konseling, hingga pendampingan psikologis dan hukum.

Pembentukan Satgas PPKS arahannya untuk mewujudkan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Kehadiran Satgas PPKS diharapkan akan mampu menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, nyaman, dan bebas dari kekerasan seksual. Satgas PPKS juga bekerja berbasis pengaduan. Artinya meski satgas mengetahui ada korban pelecehan, jika korban tidak melapor, tidak akan ditangani. Dalam menangani korban pun tidak jarang korban meminta penanganannya lebih fokus pada pemulihan mental setelah terjadinya pelecehan, agar bisa kembali kuliah di tengah trauma yang dialami. Sementara itu, pelaku tidak sampai ditindak secara hukum. Dari sisi jumlah, sampai dengan Juli 2024 sudah ada 125 perguruan negeri yang membentuk satgas PPKS. 

Bagaimana bisa mensolusikan jika yang ditangani hanya yang melapor. Penanganannya pun hanya fokus pada korban, bukan pelaku. Lalu bagaimana yang tidak melapor dan pelaku yang tidak tersentuh hukum? Ini artinya kekerasan seksual akan tetap tumbuh subur di kampus sekalipun dibentuk satgas PPKS. Terlebih satgas PPKS hanya menangani aspek permukaan, bukan menelusuri akar masalah kekerasan seksual untuk kemudian diselesaikan sehingga tercipta lingkungan kampus yang aman, nyaman, dan terbebas dari kekerasan seksual.

Berbagai upaya untuk menyelesaikan masalah tingginya kekerasan seksual di lingkungan Perguruan Tinggi belum membuahkan hasil karena tidak menyentuh akar permasalahnya, yaitu penerapan aturan hidup sekuler liberal yang melahirkan perilaku bebas. Selain itu, pencegahan kekerasan seksual di kampus dengan sosialisasi pengertian kekerasan seksual, bentuk-bentuknya, maupun cara pencegahan dan penanganannya, sarat akan pemikiran liberal/bebas.

Misal , pasal 5 Permendikbudristek 30/2021 ayat (2) yang menyebutkan beberapa aktivitas yang terkategori sebagai kekerasan seksual ketika dilakukan “tanpa persetujuan korban”. Artinya, jika aktivitas tersebut dilakukan “dengan persetujuan korban” tidak terkategori kekerasan seksual. Maka ini tentu akan menyuburkan seks bebas dan perzinaan.

Sistem pendidikan nasional tidak menjadikan Islam sebagai dasar. Akibatnya, lahirlah output pendidikan yang miskin iman, meskipun cerdas secara keilmuan. Output pendidikan sekuler/pemisahan agama dari kehidupan tidak bisa memahami mana perbuatan benar dan salah sehingga banyak akademisi dengan berbagai gelar tidak luput menjadi pelaku pelecehan dan kekerasan seksual di kampus.

Ditambah lagi kebebasan media dalam menyebarkan pornografi dan pornoaksi menjadi pemicu bangkitnya hasrat seksual yang sering kali berujung pada tindakan kekerasan seksual, termasuk di kampus. Sanksi bagi pelaku yang tidak menjerakan. Mengakibatkan masalah tidak selesai, bahkan makin bertambah. 

Sanksi yang diberikan sifatnya hanya sanksi administrasi ringan berupa teguran tertulis dan permintaan maaf (Pasal 14 ayat 2) sampai sanksi berat, yaitu pemberhentian tetap sebagai mahasiswa, tenaga pendidik, maupun tenaga kependidikan (Pasal 14 ayat 4). Sanksi seperti ini tidak akan mampu mencegah dan menyelesaikan masalah kekerasan seksual dan tidak mampu memberikan perlindungan kepada perempuan dari tindak kekerasan seksual. 

Islam Melindungi Perempuan dari Kekerasan Seksual:

Fenomena kekerasan seksual merupakan masalah sistemik sehingga penyelesaiannya juga harus sistemik. Hanya sistem Islam dengan seperangkat aturannya yang mampu melindungi perempuan dari kekerasan seksual.

Pendidikan di dalam Islam tujuannya untuk membentuk muslim yang bertakwa juga menguasai ilmu pengetahuan sebagai bekal untuk kehidupan di dunia. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nizhamu al-Islam hlm. 132 menjelaskan, ”Kurikulum pendidikan wajib berlandaskan akidah Islam. Mata pelajaran serta metode penyampaian pelajaran seluruhnya disusun tanpa adanya pelanggaran sedikit pun dalam pendidikan dari dasar tersebut.

Pendidikan dalam islam adalah membentuk pola pikir dan pola jiwa islami. Tujuan pendidikan adalah membentuk kepribadian Islam serta membekalinya dengan berbagai ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan. 

Dalam islam negara wajib menyediakan pendidik dan tenaga kependidikan yang berkualitas, amanah, kompeten, memiliki etos kerja yang baik, serta mampu menjadi teladan bagi peserta didik. Pemimpin Islam wajib menetapkan kebijakan untuk menerapkan sistem pendidikan Islam dan menjamin pelaksanaannya. Rasulullah saw. bersabda, “Seorang imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Dengan kesiapan negara islam dalam merancang dan melaksanakan politik pendidikan serta menyediakan fasilitas pendidikan, target membentuk generasi bertakwa, menguasai tsaqafah Islam, sekaligus ilmu kehidupan bukan perkara yang sulit. Ketakwaan ini akan menjadi benteng yang kukuh saat menjalani kehidupan baik di rumah, sekolah maupun masyarakat.

Sistem Pergaulan Islam Memuliakan Perempuan dan Menghindarkan Perempuan dari Kekerasan Keksual.

Islam akan menjaga kesucian dan martabat perempuan di ruang publik dengan menerapkan sistem pergaulan Islam. Sistem islam akan menetapkan larangan ikhtilat (campur baur) kecuali terdapat keperluan syar’i. Mereka tidak dapat berkumpul, kecuali terdapat suatu keperluan hidup yang dibolehkan syarak atau mengharuskannya berkumpul, seperti ibadah haji dan jual beli. Dari pemisahan kehidupan laki-laki dan perempuan ini tampak pada larangan khalwat (berdua-duaan) dan larangan ikhtilath pada laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Bukan diada-adakan namun mencontohi Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka janganlah sekali-kali bersendirian dengan seorang perempuan yang bukan mahram karena yang ketiganya adalah setan.” (HR Ahmad).

Selain itu, ada kewajiban untuk menutup aurat dan menundukkan pandangan, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Allah Swt. berfirman, “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman hendaklah mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS An-Nur [24]: 30). Juga firman-Nya, “Katakanlah kepada para perempuan yang beriman hendaklah mereka menjaga pandangannya, memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (bagian tubuhnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya. Hendaklah pula mereka tidak menampakkan perhiasannya (auratnya).” (QS An-Nur [24]: 31).

Penerapan sistem pergaulan Islam akan menciptakan lingkungan kampus yang aman karena interaksi laki-laki dan perempuan dalam ranah publik dibatasi pada aktivitas muamalah yang dibolehkan oleh syariat dalam rangka memajukan kehidupan bermasyarakat. Amar makruf ditegakkan untuk saling menasihati dalam menjaga kebaikan dan kehormatan laki-laki dan perempuan.

Negara juga akan mengontrol ketat seluruh tayangan maupun materi pemberitaan media sehingga masyarakat tidak akan mudah mengakses situs-situs porno yang memicu perilaku seks bebas dan kekerasan seksual. Media berfungsi untuk mencerdaskan masyarakat, membuat mereka taat, dan menjauhi tindakan terlaknat. Sistem Islam akan melarang peredaran konten yang tidak islami (termasuk konten pornografi dan pemikiran sekuler liberal) di media apa pun, termasuk medsos. Aparat keamanan siber negara Islam akan melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap keberadaan konten yang tidak islami, membersihkannya, dan memberi sanksi tegas kepada pelaku berupa takzir yang jenisnya diserahkan berdasarkan ijtihad khalifah atau kadi.

Sanksi yang Menjerakan, negara Islam akan menerapkan sanksi yang menjerakan bagi pelaku kekerasan seksual. Islam menetapkan bagi pelaku kekerasan seksual, seperti pemerkosaan, kriminalitas, dan sejenisnya dengan hukuman sesuai syariat Islam.

Dalam negara menerapkan sistem sanksi Islam bagi pelaku pelecehan seksual sesuai dengan jenis perbuatannya. Jika terjadi pemerkosaan, seluruh fukaha sepakat bahwa perempuan yang diperkosa tidak dijatuhi hukuman zina, baik hukuman cambuk 100 kali maupun hukuman rajam. Adapun sanksi bagi laki-laki pelaku pemerkosaan, jika korban mempunyai bukti perkosaan, yaitu kesaksian empat laki-laki muslim atau jika laki-laki pemerkosa mengakuinya, laki-laki itu dijatuhi hukuman zina, yaitu dicambuk 100 kali jika dia bukan muhshan (belum menikah) dan dirajam hingga mati jika dia muhshan (sudah menikah). (Syekh Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu Juz 7 hlm. 358).

Sistem sanksi yang tegas ini akan mewujudkan efek jera bagi pelaku dan memastikan terwujudnya keadilan bagi korban sehingga menutup celah adanya pelaku dengan kasus serupa. Ketakwaan individu, masyarakat yang peduli terhadap kebaikan bersama dengan melakukan amar makruf nahi mungkar, disertai penerapan hukum syariat secara kafah oleh negara akan mampu menciptakan lingkungan yang aman bagi perempuan. Perempuan pun terhindar dari kekerasan seksual di kampus maupun di masyarakat. Sudah selayaknya umat Islam berusaha mewujudkan penerapan syariat Islam kafah sehingga masalah kekerasan seksual akan terselesaikan secara tuntas.