Ternate, Wartarepublik.com - Kabut gelap dugaan penyimpangan pengelolaan iuran Rumah Susun Kesehatan (Rusun Nakes) di Kabupaten Pulau Morotai kian pekat. Kasus yang menyeret nama mantan Direktur RSUD Ir. Soekarno, Intan Imelda Engelbert Tan, kini memasuki babak baru. Alih-alih meredam polemik, klarifikasi dan pembenaran yang bersangkutan terkait pengumpulan iuran melalui rekening pribadi justru memantik kritik tajam dan membuka kotak pandora tata kelola birokrasi yang bobrok.
Badan Pengurus Himpunan Pemuda Pelajar Mahasiswa Morotai (HIPPMAMORO) Provinsi Maluku Utara, tampil sebagai garda terdepan, menyuarakan kebenaran dan keadilan.
Melalui Ketua Umumnya, Fandi Lukman, HIPPMAMORO tidak sekadar membantah, tetapi membongkar tuntas berbagai kejanggalan dan potensi pelanggaran hukum fatal dalam pengelolaan aset negara tersebut. Kasus ini, menurut HIPPMAMORO, adalah cerminan nyata buruknya tata kelola pemerintahan daerah, minimnya pengawasan, dan suburnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)," ucap Fandi Lukman
Menelaah Alibi: Poin-Poin Pembenaran yang Rapuh:
Sebelum menukik pada bantahan HIPPMAMORO, mari kita telaah empat pilar pembenaran yang dibangun oleh Intan Imelda Engelbert Tan:
• Dalih Kesepakatan Penghuni: Iuran ditarik berdasarkan "kesepakatan" karena ketiadaan alokasi anggaran operasional dari RSUD maupun Pemda sejak 2019.
• Alasan Ketiadaan Dana Hibah: Klaim bahwa Rusun Nakes tidak pernah menerima dana hibah, memaksa penghuni menanggung biaya operasional secara mandiri.
• Kendala Administrasi Jadi Tameng Rekening Pribadi: Penggunaan rekening pribadi diklaim karena tidak ada surat-surat resmi terkait Rusun, mempersulit pembukaan rekening resmi.
• Iuran untuk Biaya Operasional: Dana iuran digunakan murni untuk menutupi biaya operasional yang tidak ter-cover anggaran RSUD.
Bantahan HIPPMAMORO: "Pembenaran Itu Ilegal dan Fatal!"
Ketua umum HIPPMAMORO Fandi Lukman, dengan nada tegas, mempreteli satu per satu alibi tersebut, menyebutnya sebagai upaya "cuci tangan" dari tanggung jawab dan pelanggaran hukum yang nyata:
1. "Kesepakatan dengan Penghuni Itu Ilegal dan Tidak Sah!"
HIPPMAMORO menegaskan, pungutan resmi oleh institusi negara tidak bisa didasari pada "kesepakatan warung kopi". Pungutan iuran tanpa dasar hukum yang kuat, seperti Peraturan Daerah (Perda) atau Peraturan Kepala Daerah (Perkada) yang jelas, adalah pungutan liar (ilegal)," tegasnya
2. "Tidak Ada Dana Hibah adalah Alasan Klasik yang Menutupi Ketidakbecusan!"
Klaim ketiadaan dana hibah dinilai sebagai bentuk ketidakbecusan manajemen RSUD dan Pemda. Seharusnya, kata Fandi, manajemen aktif mengusulkan penganggaran operasional Rusun Nakes melalui mekanisme APBD dan berkoordinasi intensif dengan Pemerintah Daerah, bukan malah membebankan masalah administrasi pada tenaga kesehatan.
3. "Rekening Pribadi? Tindakan yang Sangat.
Fatal dan Tidak Bisa Ditolerir!"
Ini adalah poin paling krusial. Penggunaan rekening pribadi untuk mengelola dana yang berasal dari lingkungan institusi publik adalah pelanggaran fundamental terhadap aturan pengelolaan keuangan negara. Dana publik wajib dikelola secara transparan dan akuntabel melalui rekening resmi institusi.
4. "Biaya Operasional Rusun Nakes Tanggung.
Jawab Siapa? Jangan Cuci Tangan!"
HIPPMAMORO menekankan, negara (dalam hal ini Pemda Morotai) wajib hadir. Membiarkan tenaga kesehatan menanggung sendiri beban biaya operasional fasilitas negara adalah bentuk kelalaian dan ketidakadilan struktural.
Indikasi Maladministrasi dan Aroma Kerugian Negara.
Dari rangkaian fakta dan bantahan tersebut, HIPPMAMORO mencium aroma kuat maladministrasi dan potensi kerugian negara yang signifikan:
• Nihil Transparansi dan Akuntabilitas: Pengelolaan dana di rekening pribadi menutup celah audit dan pengawasan.
• Penyalahgunaan Wewenang: Diduga terjadi penggunaan jabatan untuk melakukan tindakan di luar koridor hukum.
• Minim Pengawasan Efektif: Kasus ini menyoroti lemahnya peran Inspektorat dan instansi pengawas daerah lainnya.
HIPPMAMORO menuntut agar aparat penegak hukum segera mengusut tuntas kasus ini. Pembenaran mantan direktur RSUD bukan jawaban, melainkan petunjuk awal adanya dugaan pelanggaran serius yang harus dibongkar demi tegaknya keadilan dan perbaikan tata kelola pemerintahan di Pulau Morotai," tuntutannya
.png)