
Kalbar.WARTAREPUBLIK.com-- Sanggau, Deru mesin dompeng kembali menggema di sepanjang Sungai Kapuas. Siang malam, puluhan lanting bermesin jek tampak berjejer di perairan Desa Sungai Batu, Mapai, hingga Semerangkai, Kabupaten Sanggau. Aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI) ini kembali menggeliat, seperti tak pernah ada hukum yang berlaku di tanah Kalimantan Barat.
Padahal, belum lama ini Kapolda Kalbar dengan lantang menyatakan akan menindak tegas pelaku PETI, bahkan hingga ke cukong di balik layar. Namun realitas di lapangan justru memukul nurani: sungai rusak, air menghitam, ikan mati, dan masyarakat kembali jadi korban.
Kini, pernyataan “komitmen penindakan” itu dinilai warga hanya pencitraan kosong, sekadar basa-basi demi publikasi.
"Setoran Aman” ke Oknum Aparat?
Di balik maraknya tambang emas ilegal ini, beredar kabar mencengangkan. Sejumlah sumber lokal dan pemerhati lingkungan menyebut adanya “lampu hijau” dari oknum aparat penegak hukum (APH).
Informasi yang beredar menyebut, setiap pemilik lanting dikabarkan wajib menyetor hingga Rp7 juta kepada oknum petinggi aparat di tingkat kabupaten agar aktivitas mereka aman dari razia.
“Masyarakat sudah muak! Sungai Kapuas rusak parah, ikan mati, air tak bisa diminum. Tapi pelaku PETI malah santai, seperti kebal hukum. Polisi baru datang kalau sudah viral — ambil foto, bilang ‘tidak ada aktivitas’. Padahal, bukti dari warga sudah jelas,” tegas IW, pemerhati lingkungan Sanggau, Jumat (1/11).
IW mendesak Kapolda Kalbar membuktikan komitmennya.
“Kalau serius, turun langsung ke lokasi. Jangan cuma duduk di kantor dan percaya laporan anak buah. Kalau tidak sanggup, biar Mabes Polri yang turun! Ini bukan tambang liar lagi, ini kejahatan terorganisir yang merusak ekosistem dan mencoreng institusi kepolisian,” ujarnya tajam.
Sungai Kapuas di Ambang Kematian Ekologis
PETI di Kapuas bukan sekadar pencurian sumber daya, tapi pembunuhan terhadap alam.
Mesin dompeng dan air raksa (merkuri) digunakan untuk memisahkan emas dari tanah — racun berbahaya yang kini mengalir bersama arus sungai. Akibatnya:
Air Sungai Kapuas tercemar berat logam merkuri (Hg);
* Ikan dan biota air mati massal;
* Sungai dangkal dan tererosi;
Masyarakat bantaran terancam penyakit kulit, saraf, bahkan kelainan pada anak-anak akibat akumulasi merkuri.
Data dari lembaga lingkungan menyebut, merkuri bisa mencemari rantai makanan hingga ke tubuh manusia. Kerusakannya bersifat permanen. Jika dibiarkan, Kapuas bisa menjadi sungai mati — kuburan bagi jutaan makhluk hidup dan sumber air masyarakat.
Hukum Dilanggar Terang-Terangan
Aktivitas PETI melanggar sejumlah aturan berat:
Pasal 158 UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba:
Pelaku tambang tanpa izin terancam 5 tahun penjara dan denda Rp100 miliar.
Pasal 98 & 99 UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH:
Pencemar lingkungan bisa dipenjara hingga 10 tahun dan denda Rp10 miliar.
Pasal 12 huruf e UU Tipikor (UU No. 31/1999):
Aparat yang menerima setoran ilegal terancam hukuman 20 tahun penjara.
Namun hukum hanya tegas di atas kertas — di lapangan, pelaku dan pelindungnya masih bebas beroperasi.
Masyarakat Geram: “Turunkan Tim dari Mabes Polri!”
Desakan keras datang dari berbagai pihak agar Mabes Polri turun tangan langsung.
“Sudah terlalu lama warga dijadikan korban. Sungai yang dulu sumber hidup kini jadi sumber penyakit. Kalau aparat daerah sudah tak mampu atau pura-pura buta, biar pusat yang bongkar semua ini,” ujar seorang tokoh adat yang enggan disebut namanya.
Kapuas Menangis, Hukum Tertidur
Kini, Sungai Kapuas — salah satu sungai terpanjang dan tertua di Nusantara, berada di ujung tanduk.
PETI bukan hanya mencuri emas, tapi juga merampas masa depan generasi Kalimantan Barat.
Jika aparat terus menutup mata, maka yang mati bukan hanya ikan dan hutan, tetapi juga kepercayaan rakyat terhadap hukum.
"Jangan biarkan Sungai Kapuas berubah menjadi kuburan hidup akibat kerakusan dan pembiaran,” tutup IW dengan nada geram.
Editor : Muchlisin
Sumber : Tim WGR
.png)