Kebusukan Tambang Ilegal di Desa Kusubibi: Oknum TNI, Polri, dan Wartawan Diduga Terlibat Skema “Jatah Bulanan” -->

Header Menu

Kebusukan Tambang Ilegal di Desa Kusubibi: Oknum TNI, Polri, dan Wartawan Diduga Terlibat Skema “Jatah Bulanan”

Admin Redaksi
Thursday, 6 November 2025

Hal-Sel, WARTAREPUBLIK.com — Di balik aktivitas tambang emas ilegal di Desa Kusubibi, Kecamatan Bacan Barat, Kabupaten Halmahera Selatan, tersimpan aroma busuk yang kini mulai terkuak ke permukaan. Aktivitas penambangan tanpa izin yang telah berlangsung bertahun-tahun ini diduga tidak hanya melibatkan warga lokal, tetapi juga menyeret sejumlah oknum aparat dan insan media yang selama ini seharusnya menjadi garda pengawas hukum dan informasi publik. Jumat, 07/11/2025

Berdasarkan penelusuran dan keterangan sumber terpercaya, tambang ilegal tersebut telah menjadi ladang subur bagi sejumlah pihak yang mengambil keuntungan pribadi. Setiap bulan, tepat pada tanggal 20, disebut-sebut terjadi pembagian “jatah” hasil tambang kepada pihak-pihak tertentu, termasuk oknum dari kalangan TNI, Polri, hingga puluhan wartawan lokal. Uang tersebut konon disebut sebagai “uang cabutan” atau imbalan tutup mata, agar aktivitas tambang terus berjalan tanpa gangguan penegakan hukum maupun pemberitaan negatif di media massa.

Sumber internal yang meminta identitasnya disamarkan mengungkapkan bahwa sistem tersebut telah berjalan secara terstruktur dan rapi. “Sudah menjadi kebiasaan. Tiap tanggal dua puluh, uang dibagi. Ada yang datang langsung ke lokasi, ada juga yang dikirim lewat perantara. Kalau ada yang coba buka suara, biasanya langsung ditekan,” ungkapnya.

Tambang di Kusubibi memang menjadi sorotan sejak lama. Selain beroperasi tanpa izin resmi dari pemerintah, aktivitas penambangan di sana juga menimbulkan kerusakan lingkungan cukup parah. Aliran sungai yang menjadi sumber air masyarakat mulai tercemar oleh merkuri dan limbah tambang, sementara hutan di sekitar kawasan Bacan Barat semakin gundul akibat pembukaan lahan secara liar.

Namun, meski laporan dan keluhan warga sering terdengar, penegakan hukum seolah lumpuh. Tidak pernah ada tindakan tegas, apalagi penutupan permanen terhadap tambang tersebut. Banyak pihak menilai, hal ini tidak lepas dari “perlindungan” yang diberikan oleh jaringan kepentingan yang melibatkan berbagai unsur.

Beberapa tokoh masyarakat Kusubibi menyayangkan lemahnya pengawasan dari pemerintah daerah dan aparat hukum. “Kami sudah sampaikan berkali-kali, tapi tidak pernah ditindaklanjuti. Mereka hanya datang, lihat-lihat, lalu hilang lagi. Padahal kerusakan makin parah,” tutur salah satu warga yang enggan disebutkan namanya.

Dugaan keterlibatan oknum wartawan juga menambah panjang daftar persoalan. Sejumlah nama disebut rutin menerima “amplop bulanan” agar tidak menulis berita miring mengenai tambang ilegal tersebut. Praktik ini tidak hanya mencoreng integritas profesi jurnalistik, tetapi juga membuat publik kehilangan akses terhadap informasi yang benar dan transparan.

Pengamat hukum lingkungan dari Ternate, Dr. Rahmat Ismail, menilai bahwa praktik tambang ilegal yang dilindungi oleh aparat dan oknum media merupakan bentuk kejahatan terorganisir yang merusak sendi negara hukum. “Jika benar ada aliran uang ke oknum TNI, Polri, dan wartawan, maka ini bukan lagi sekadar pelanggaran administratif, melainkan tindak pidana korupsi dan suap yang harus ditindak tegas,” ujarnya.

Ia juga menekankan perlunya keterlibatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Kepolisian Daerah Maluku Utara untuk turun langsung mengusut kasus tersebut. “Jangan biarkan praktik seperti ini menjadi budaya. Negara harus hadir,” tegasnya.

Sementara itu, hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak aparat keamanan maupun pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan terkait dugaan keterlibatan oknum dalam aktivitas tambang ilegal di Kusubibi. Beberapa pihak yang dihubungi enggan memberikan komentar dan hanya menyebut akan “mengecek informasi terlebih dahulu”.

Kendati demikian, desakan masyarakat agar kasus ini segera diusut terus bergema. Para warga menuntut transparansi dan penegakan hukum tanpa pandang bulu, termasuk terhadap mereka yang selama ini bersembunyi di balik seragam dan jabatan. “Kami hanya ingin keadilan. Kalau dibiarkan, anak cucu kami yang akan menanggung akibatnya,” kata seorang warga dengan nada getir.

Kasus tambang ilegal Kusubibi kini menjadi cerminan betapa rumitnya persoalan penegakan hukum di daerah. Di satu sisi, tambang menjadi sumber penghidupan bagi sebagian warga. Namun di sisi lain, praktik kotor yang melibatkan aparat dan oknum media justru menegaskan bahwa ketamakan telah menelan moral dan hukum itu sendiri.

Redaksi: wan