
Wartarepublik.com - Engkau adalah halaman sunyi yang selalu kubuka setiap pagi, tempat kusimpan serpihan doa yang kutulis dengan jemari gemetar. Pada tiap helainya, ada wangi kembang yang sengaja kuselipkan, agar ingatan kita tidak mudah gugur oleh angin.
Hatimu adalah musim yang tak pernah letih berganti; aku datang sebagai angin kecil yang malu-malu, lalu kau menjelma teduh yang merawat luruhku. Di antara detak kita, waktu berjalan pelan, seakan tahu bahwa di situ cinta sedang belajar tumbuh.
Aku telah lama menjadi senja yang menyimpan cahaya paling lembut hanya untukmu. Dalam riuh hari-hari yang letih, kau hadir sebagai jeda yang menenangkan; udara bening tempat rindu menggantung seperti doa yang belum selesai diucapkan.
Sebelum kita saling mengerti, mata kita hanya dua cermin asing yang saling menabrak bayangan. Tapi kemudian cinta datang memberi napas baru, memberi ruang bagi luka lama untuk pulang dan sembuh perlahan.
Kiranya kau akan tetap tabah sebagai kompas yang menuntun langkahku, dan aku menjadi jejak yang bersedia mengikuti setiap arah yang kau percaya. Mungkin, seluruh kisah ini hanyalah pesta sederhana yang diselenggarakan oleh rindu; dan waktu adalah peta yang menandai betapa jarak pun bisa menjadi jembatan.
Jika cintaku padamu adalah api, biarkan ia tetap menyala tanpa perlu menjadi kobaran besar; cukup menjadi bara yang hangat, yang tak pernah padam meski datangnya dingin malam yang selalu mengahantui dan menembus sampai ke tulang rusuk.
Cinta terus tumbuh pada hari-hari yang sibuk, pada jam-jam yang sunyi, pada detik yang bahkan tak kita sadari. Ia tinggal di tempat yang sama, diatur oleh takdir, dijaga oleh harap. Terima kasih, bersamamu, segalanya terasa selengkap doa yang menemukan jawabannya.
.png)