
Warta Republik | Cilegon, 18 Desember 2025 — Kebijakan baru Pemerintah terkait penyesuaian upah minimum tahun 2026 menuai respons dari kalangan serikat pekerja. Penetapan rentang Indeks Alfa 0,5–0,9 yang memproyeksikan kenaikan upah minimum di kisaran 5,2 hingga 7,3 persen dinilai sebagai langkah awal yang positif, namun belum cukup untuk menjawab persoalan struktural pengupahan nasional.
Ketua Serikat Karyawan Krakatau Medika (SKKM), Hengky Suryo Winoto, yang berafiliasi dengan Federasi ASPEK Indonesia, mengatakan kebijakan tersebut menunjukkan adanya perubahan arah dalam politik pengupahan nasional yang selama ini dinilai terlalu kaku dan tidak berpijak pada realitas hidup buruh.
“Kami melihat ini sebagai sinyal perubahan arah, bukan garis akhir. Negara mulai membuka ruang koreksi terhadap sistem pengupahan yang selama ini menjauh dari kebutuhan riil pekerja. Namun reformasi pengupahan tidak boleh berhenti di sini,” ujar Hengky dalam keterangannya, Rabu (18/12).

Koreksi atas Praktik Upah Murah
Menurut Hengky, perluasan rentang indeks alfa sekaligus menjadi koreksi atas praktik masa lalu yang mengunci penetapan upah pada angka rendah, sehingga melemahkan daya beli buruh dan melanggengkan politik upah murah.
“Stabilitas ekonomi tidak boleh lagi dibangun di atas pengorbanan buruh. Masuknya variabel inflasi dan pertumbuhan ekonomi secara lebih proporsional, serta dibukanya kembali ruang upah sektoral, menunjukkan adanya kemauan politik untuk membagi beban krisis secara lebih adil,” tegasnya.
Ia juga mengapresiasi langkah Pemerintah yang dinilai mulai mendengarkan aspirasi pekerja, sejalan dengan sikap Presiden Konfederasi ASPEK Indonesia, Muhamad Rusdi, yang menilai kebijakan ini mencerminkan keseriusan Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Ketenagakerjaan Prof. Yassierli dalam merespons tuntutan buruh secara lebih manusiawi dan substantif.

Dorong Demokratisasi Penetapan Upah
Lebih lanjut, Hengky menilai penguatan peran pemerintah daerah dan Dewan Pengupahan sebagai langkah penting dalam menghidupkan kembali dialog sosial.
“Upah tidak boleh ditentukan dari kejauhan. Keadilan upah hanya bisa lahir dari kebijakan yang dekat dengan realitas hidup buruh di daerah,” katanya.
Ia menegaskan bahwa indikator ekonomi seperti inflasi dan pertumbuhan seharusnya menjadi alat, bukan tujuan akhir kebijakan.
“Angka-angka makro tidak boleh membutakan negara dari kenyataan mikro. Biaya hidup terus meningkat, sementara ruang hidup buruh semakin menyempit,” ujarnya.
KHL Harus Kembali Jadi Acuan
Mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168, Hengky menekankan pentingnya mengembalikan penetapan upah minimum pada survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang dilakukan secara objektif, transparan, dan berkelanjutan.
“Tanpa KHL yang hidup dan diperbarui secara berkala, upah minimum mungkin sah secara administratif, tetapi gagal menjalankan fungsi keadilan sosial,” jelasnya.

Desak Reformasi Lewat UU Ketenagakerjaan Baru
Hengky menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa reformasi pengupahan tidak boleh berhenti pada kebijakan tahunan, melainkan harus diperkuat melalui Undang-Undang Ketenagakerjaan yang baru dan berkeadilan.
“Upah layak bukan hambatan pertumbuhan. Justru itulah syarat kebangkitan bangsa. Negara yang menghargai kerja secara adil akan memiliki ekonomi yang kuat, masyarakat yang stabil, dan masa depan yang berkeadilan,” pungkasnya.
.png)