
Wartarepublik.com || Nias Barat, Sumut --
Sebuah dokumen purchase order yang beredar dari salah satu UPTD SD Negeri di Kabupaten Nias Barat mengungkap dugaan kejanggalan dalam pengadaan layanan internet Starlink melalui pihak ketiga, PT Fastrek Indo Utama. Dalam surat tersebut, sekolah diminta membayar Rp1.332.000 per bulan untuk paket Residential Unlimited selama tiga bulan dengan total Rp3.996.000, yang seluruhnya akan dibebankan ke Dana BOS Tahun 2025.
Rabu, (10/12/2025)
Padahal, berdasarkan harga resmi Starlink Indonesia, paket Residential yang digunakan untuk kebutuhan rumah tangga maupun sekolah hanya dikenakan tarif Rp750.000 per bulan. Dengan demikian, biaya yang tertulis dalam PO mencapai selisih lebih dari Rp582.000 per bulan dari harga resmi, atau sekitar 77% lebih mahal dari tarif seharusnya.
Tidak ada paket resmi Starlink lain yang secara umum berharga Rp1,3 juta per bulan. Paket Roam/Mobility memang berada di kisaran Rp990.000 – Rp1.530.000, tetapi dokumen PO tersebut secara jelas mencantumkan layanan Residential Unlimited, yang semestinya hanya dikenakan tarif standar Rp750.000.
Dugaan mark-up ini menambah daftar panjang kejanggalan dalam pengadaan layanan pendidikan berbasis digital di Nias Barat, yang sebelumnya juga diramaikan isu pemaksaan MoU program Smart School ke sejumlah kepala sekolah melalui vendor tertentu. Jika benar demikian, maka praktik ini berpotensi menyalahi ketentuan penggunaan Dana BOS, sebagaimana diatur dalam Permendikdasmen Nomor 8 Tahun 2025, yang menekankan bahwa setiap pengadaan harus melalui mekanisme yang transparan, kompetitif, dan menghindari pemborosan anggaran.
Penggunaan vendor tunggal dalam pengadaan Starlink dan ketidaksesuaian harga dengan tarif resmi menjadi indikasi kuat adanya dugaan permainan harga yang berpotensi merugikan sekolah. Hingga kini, belum ada penjelasan resmi dari Dinas Pendidikan Kabupaten Nias Barat terkait dasar penetapan harga maupun alasan sekolah diarahkan membeli lewat pihak ketiga dengan biaya yang lebih tinggi.
Sementara itu, pihak sekolah yang menerima PO tersebut diminta untuk membayar biaya dimuka (payment term: pembayaran dimuka) menggunakan Dana BOS 2025, meskipun tidak disertai informasi rinci mengenai nomor seri perangkat dan mekanisme layanan lainnya.
Kasus ini menjadi sorotan karena menyangkut transparansi dan akuntabilitas pengelolaan anggaran pendidikan, khususnya di daerah seperti Nias Barat yang masih menghadapi keterbatasan akses internet dan beban operasional sekolah. Publik kini menunggu klarifikasi dari pihak Dinas Pendidikan apakah pengadaan tersebut sesuai prosedur atau justru bagian dari praktik pengadaan yang tidak sesuai regulasi.
?.??
.png)