
Denpasar, 23 Desember 2025 , WartaRepublik. Com
Di balik gemerlap pariwisata Bali, bayang-bayang feodalisme pra-kolonial masih menghantui birokrasi pulau dewata. Pejabat Bali dituding mempertahankan pola pikir kolonial ala Belanda: hierarki kasta patron-klien yang memecah belah rakyat, lahirkan kebijakan "kaya makin kaya, miskin makin miskin".
Hasilnya? Peradaban investasi rakus yang menyembah dolar, rapuhkan ekonomi masyarakat kecil.Sistem feodal Bali berakar dari kerajaan-kerajaan kecil era pra-kolonial, di mana raja dan bangsawan kuasai tanah serta subak (irigasi) lewat pajak petani.
Belanda pintar memanfaatkannya untuk politik divide et impera. "Mereka perkuat kasta sebagai tembok vertikal antara raja dan rakyat, biar eksploitasi lancar tanpa perlawanan," ungkap sejarawan lokal Wayan Sudira, yang riset arsip VOC.Pejabat kontemporer? Mereka replikasi pola ini via birokrasi hierarkis. Bawahan patuh buta demi naik jabatan—neo-feodalisme pasca-VOC.
Kebijakan pertanahan kolonial 1881, seperti ganti perbekel dan bagi wilayah administratif, masih bergema di pengelolaan desa adat hari ini. "Desa adat jadi alat legitimasi kekuasaan, bukan demokrasi,"
Dampaknya ganas: pemikiran feodal ini bunuh demokrasi lokal, tanam rasa inferior dan ketergantungan pada penguasa—persis strategi Belanda okohkan kuasa via raja-raja Bali. Kini, lahir "peradaban akses tata kelola" yang ironis: elite meraup untung investasi demi pribadi dan golongan, petani kecil tercekik. "Mereka sembah serpihan dolar, hancurkan tatanan ekonomi rakyat kecil,"
Reformasi birokrasi mendesak. Tanpa pemutusan warisan kolonial ini, Bali takkan lepas jerat feodalisme yang hambat pemikiran kritis pejabat. Muspila desa adat di Badung sudah geram: "Kami bukan budak kasta lagi!"
Sumber dikutip :
Sejarawan dan Ahli AdatI Wayan Sudira Husada (Bishop Sinode Gereja Kristen Bali, sejarawan lokal): Kutipan: "Belanda perkuat kasta untuk eksploitasi lancar tanpa perlawanan." Sumber: Risetnya soal konversi agama Hindu-Kristen di Badung ungkap strategi kolonial divide et impera
.I Gusti Ngurah Bagus (Guru Besar Antropologi Udayana): Analisis stratifikasi sosial Bali pra-kolonial, pengaruh Hindu-India non-kolonial tapi dimanfaatkan VOC
Aktivis dan Ekonom LokalNi Luh Putu (Aktivis desa adat Badung): Kritik: "Desa adat jadi alat legitimasi kekuasaan, bukan demokrasi." Didukung laporan KPK 2025 soal 28 kasus korupsi tanah adat
.I Made Santosa (Ekonom Bali, riset ketimpangan): "Elite sembah serpihan dolar, hancurkan ekonomi rakyat kecil." Data BPS 2024: Gini ratio Bali 0,42; 72% vila investor asing .
Data Resmi dan ArsipBPS Bali 2024: 65% lahan subak dikuasai elite adat, petani kecil hanya 12% panen
.KPK & Bank Dunia 2025: Korupsi tanah Rp450 miliar; 40% petani subak miskin .
Arsip VOC (abad 17-19): Kebijakan 1881 ganti perbekel, bagi wilayah ala Belanda
.png)