
Wartarepublik.com || Nias Barat, Sumut--
Jejak kepemimpinan Eliyunus menunjukkan pola yang berulang: kekuasaan dijalankan dengan tekanan, bukan dengan semangat merangkul. Jargon perubahan yang dikumandangkan justru bergerak ke arah yang berlawanan perubahan yang mengarah pada kemunduran dan keburukan.
Minggu, (14/12/2025)
Saat menjabat sebagai Rektor Universitas Nias (UNIAS), Eliyunus memberhentikan seorang dosen senior yang juga pernah menjabat Ketua STIE, sosok yang dikenal baik dan menjadi dosen favorit mahasiswa. Pemberhentian tersebut disebut-sebut didahului dengan pencarian kesalahan dan tuduhan sebagai joki skripsi, tanpa proses yang transparan dan akuntabel. Pada periode yang sama, ijazah seorang mahasiswi ditahan hanya karena yang bersangkutan sudah terlanjur merantau, bahkan disertai ancaman pembatalan gelar akademik.
Pola serupa berlanjut ketika Eliyunus menjabat sebagai Bupati Nias Barat. Sejumlah pejabat eselon II mengalami tekanan secara tidak langsung. Ancaman tidak disampaikan secara terbuka, melainkan melalui pesan personal dan isyarat kekuasaan: jika tidak mengundurkan diri, maka akan dicari kesalahan melalui jalur pemeriksaan. Tekanan ini berujung pada pengunduran diri pejabat eselon II secara beramai-ramai.
Masalah juga menimpa para PPPK. Meski SPK disebut sudah diteken, hingga kini dokumen SPK tersebut belum diterima secara resmi oleh PPPK. Kondisi ini menimbulkan ketidakpastian status kerja dan bertolak belakang dengan janji kontrak lima tahun yang pernah disampaikan.
Sementara itu, CPPPK lulusan 2024 telah diangkat sejak Oktober. Namun hingga 13 Desember, baru satu bulan gaji yang cair, padahal mereka telah bekerja hampir tiga bulan.
CPPPK paruh waktu bahkan harus mengadu hingga ke Kementerian PANRB. Meski kebutuhan formasi diumumkan, SK pengangkatan mereka hingga kini belum diserahkan.
Pembatalan beasiswa kedokteran di Universitas Nommensen dilakukan dengan alasan Perbup sebelumnya menyalahi aturan. Alasan ini dinilai tidak rasional karena menyangkut kebutuhan dokter dan masa depan anak-anak daerah.
Program pro rakyat yang sebelumnya berjalan turut dihentikan. Ambulans gratis disebut tidak lagi sepenuhnya gratis. Santunan duka, bantuan pembangunan gereja, dan dukungan kepada para hamba Tuhan juga tidak lagi dilanjutkan.
Program ketahanan pangan menunggangi dana desa namun belum menunjukkan hasil nyata. Proyek infrastruktur baru dilelang akhir Oktober, hanya dua bulan sebelum akhir tahun anggaran, berpotensi gagal atau tidak selesai tepat waktu.
Keseluruhan peristiwa ini mencerminkan nilai kepemimpinan yang keliru dan berbahaya: penyalahgunaan kekuasaan, intimidasi terselubung, ketidakjujuran administratif, pengabaian hak pegawai, serta absennya empati dan tanggung jawab moral. Inilah kepemimpinan yang memukul, bukan merangkul.
?.??
.png)