Oleh: Immawan MARLAN AUFAT Sekeretaris Bidang Tabliqh dan Keagamaan PK IMM Teknik
OPINI, Wartarepublik.com - Kapitalisme pada dasarnya adalah sistem yang membuat hampir semua hal bisa diperjualbelikan. Selama sesuatu memiliki nilai dan bisa mendatangkan keuntungan, maka ia layak masuk ke dalam pasar. Dalam kapitalisme, keberhasilan diukur dari seberapa besar keuntungan yang diperoleh, bukan dari dampak kemanusiaan yang ditinggalkan. Karena itu, kapitalisme selalu mencari celah baru, bukan hanya pada barang, tetapi juga pada kebiasaan, gaya hidup, bahkan perasaan manusia.
Sementara itu, romantisme lahir dari sisi paling manusiawi dalam diri kita. Ia berkaitan dengan cinta, perhatian, kedekatan, dan keinginan untuk merasa berarti. Romantisme tidak selalu soal pasangan, tetapi juga tentang rasa peduli, kehangatan keluarga, dan momen sederhana yang memberi makna. Pada dasarnya, romantisme tidak membutuhkan uang, ia butuh kehadiran dan ketulusan.
Masalah muncul ketika kapitalisme mulai membaca romantisme sebagai peluang. Perasaan yang seharusnya lahir secara alami perlahan diarahkan untuk bergantung pada produk. Cinta seolah tidak lengkap tanpa hadiah, perhatian terasa kurang jika tidak diwujudkan dalam bentuk barang, dan kebahagiaan dikemas dalam promosi. Tanpa disadari, kita diajak percaya bahwa membelanjakan uang adalah bentuk tertinggi dari rasa sayang.
Dunia bisnis memanfaatkan romantisme dengan cara yang halus. Iklan tidak lagi menjelaskan fungsi barang, tetapi memainkan emosi. Kita tidak disuruh membeli, kita “diajak merasakan”. Di titik ini, romantisme kehilangan maknanya yang asli. Ia tidak lagi tentang hubungan antarmanusia, tetapi tentang hubungan antara manusia dan barang.
Akibatnya, banyak orang merasa gagal mencintai hanya karena tidak mampu membeli. Tekanan sosial muncul, terutama bagi mereka yang ekonominya terbatas. Kapitalisme menjadikan perasaan sebagai standar pasar, dan manusia perlahan berubah menjadi konsumen emosi.
Tulisan ini bukan untuk menolak bisnis atau pasar. Namun penting untuk menyadari bahwa tidak semua hal layak dijadikan komoditas. Romantisme seharusnya tetap menjadi ruang bebas bagi manusia untuk saling terhubung tanpa harga. Jika tidak, kita bukan hanya kehilangan makna cinta, tetapi juga kehilangan kejujuran dalam hubungan itu sendiri.
Sebab ketika segala sesuatu diukur dengan nilai jual, hubungan antarmanusia pun perlahan kehilangan ketulusannya. Perasaan tidak lagi hadir sebagai kebutuhan batin, melainkan sebagai tuntutan sosial yang harus dipenuhi lewat konsumsi. Kita mencintai bukan karena dorongan hati, tetapi karena takut dianggap kurang peduli, kurang romantis, atau tidak memenuhi standar yang dibentuk oleh pasar.
Dalam situasi seperti ini, romantisme berubah menjadi beban. Ia tidak lagi membebaskan, tetapi menekan. Orang dipaksa menyesuaikan perasaan dengan kemampuan ekonomi, seolah cinta hanya sah jika mampu dibuktikan dengan sesuatu yang terlihat dan berharga. Padahal, banyak hubungan yang justru tumbuh dari kesederhanaan, dari percakapan jujur, dari kehadiran yang tidak bisa dibeli.
Kapitalisme bekerja dengan sangat rapi dalam menciptakan ilusi tersebut. Ia tidak memerintah, tetapi membentuk kebiasaan. Tanpa sadar, kita ikut melanggengkan sistem itu dengan menilai cinta dari kemasan, bukan dari makna. Di titik ini, yang perlu dipulihkan bukan sekadar cara kita berbelanja, tetapi cara kita memaknai hubungan.
Romantisme seharusnya kembali pada fungsinya yang paling dasar: mempererat hubungan manusia, bukan memperkaya pasar. Bisnis boleh memanfaatkan momen, tetapi manusia tidak boleh kehilangan kesadaran. Sebab jika perasaan terus dijadikan alat jual beli, maka yang tersisa hanyalah transaksi, bukan hubungan. Dan di sanalah kapitalisme tidak hanya menguasai pasar, tetapi juga masuk ke ruang paling pribadi dalam hidup manusia.
.png)