LAIGOMA, BUKAN PULAU KOSONG -->

Header Menu

LAIGOMA, BUKAN PULAU KOSONG

Admin Redaksi
Wednesday, 3 December 2025

Oleh: Mudasir Yudin camerad Samurai Maluku Utara


Opini, Wartarepublik.com - Di timur selatan Halmahera terdapat sebuah pulau terpencil dengan panorama alam yang begitu indah, serta sumber daya kelautan yang melimpah. Pulau itu adalah Desa Laigoma, Kecamatan Kayoa, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara.

Masyarakat Laigoma hidup dalam suasana keakraban, keragaman, dan kerukunan. Mereka masih memegang teguh nilai gotong royong dan menjunjung tinggi kultur budaya leluhur. Salah satu tradisi yang tetap dijalankan hingga sekarang adalah ziarah kubur (keramat). Mayoritas penduduknya berasal dari Suku Makian (Makian Luar). Pulau terpencil itu telah dihuni oleh masyarakat selama puluhan tahun sejak erupsi Gunung Kie Besi di Pulau Makian pada tahun 1988 yang menyebabkan terjadinya arus perpindahan penduduk.

Mata pencaharian masyarakat Laigoma mayoritas adalah nelayan. Pekerjaan ini menjadi prioritas untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, biaya pendidikan anak-anak, kesehatan, serta kebutuhan lainnya. Mereka tidak bergantung sepenuhnya pada hasil kebun seperti pala, cengkeh, atau kelapa karena hasil tersebut tidak selalu cukup untuk menopang kebutuhan hidup harian.

Para nelayan mempersiapkan kebutuhan untuk pergi melaut dengan harapan bisa membawa pulang hasil, meski gelombang tinggi sering menghadang. Namun rintangan di laut tidak mereka anggap sebagai hambatan. Hanya demi nilai rupiah yang bisa membuat anak, istri, dan keluarga tersenyum, mereka tetap berangkat melaut, seolah nyawa bukan hal yang perlu diperdebatkan.

Di balik semua itu, ada luka besar yang terus menganga di hadapan mata. Tahun demi tahun, pikiran masyarakat Laigoma dihantui rasa pilu ketika melihat anak-anak yang bertekad meraih masa depan melalui pendidikan menghadapi tantangan yang tidak semestinya dialami di negeri yang katanya telah merdeka.

Untuk sampai ke sekolah, anak-anak sering tiba dalam keadaan basah karena ombak tinggi menghantam bibir pantai. Kadang mereka harus melepas seragam terlebih dahulu, menyeberang, lalu mengenakannya kembali setelah sampai di sekolah. Bahkan ada kalanya mereka harus mempertaruhkan nyawa dengan berjalan melewati tebing pegunungan hanya demi mengikuti proses belajar mengajar dan menimba ilmu untuk masa depan mereka.

Semua ini terjadi karena Desa Laigoma memiliki dua dusun atau kampung, yakni Kampung Tua dan Kampung Baru, sementara gedung sekolah berada di Kampung Baru. Anak-anak dari Kampung Tua harus melewati rintangan berat setiap hari untuk mencapai sekolah tersebut.

Rangkaian cerita ini menggambarkan luka yang menimpa rakyat Laigoma dari tahun ke tahun. Semestinya kondisi ini mendapat perhatian penuh dari pemerintah kabupaten melalui Dinas Pendidikan Halmahera Selatan, pemerintah provinsi Maluku Utara, hingga pemerintah pusat. Namun yang terjadi justru sebaliknya: diam, acuh tak acuh, dan seolah menutup mata terhadap kebutuhan masyarakat Laigoma. Padahal desa ini adalah bagian dari Halmahera Selatan, bagian dari Maluku Utara, dan bagian dari NKRI.

Sampai kapan derita akses pendidikan ini akan berakhir bagi anak-anak Laigoma? Sampai kapan pula pemerintah mau menjawab jeritan yang tak pernah berhenti dari anak-anak pulau kecil itu?