Oleh: Muhajrin Umasangadji
Wartarepublik.com - Maluku Utara, pulau kecil di seberang Indonesia. Dahulu Belanda datang rebut rempah, berdagang bahkan melakukan penjajahan. Namun semua telah usai ketika Indonesia merdeka tahun 1945. Lepas dari cerita panjang tentang pulau rempah, Maluku Utara juga memiliki segudang hasil perut bumi, mulai dari emas, Nikel, hingga batu bara. Kenaikan ekonomi Maluku Utara juga menjadi perbincangan Nasional. Hingga kini telah mencapai 39,10% menurut data hari ini. Tapi kalau kita lihat lebih dalam ternyata kenaikan ekonomi tersebut juga merobek sejuta hektare hutan.
Pada dataran Halmahera, telah mengalami eksploitasi hutan secara besar-besaran. Halmahera Timur, Halmahera Tengah menjadi pusat operasi Nikel terbesar Maluku Utara. Informasi diliput dari media lokal, 2001 sampai 2024 Halmahera kehilangan puluhan hektare hutan semua itu disebabkan oleh aktivitas pertambangan, ditambah lagi sekarang pemimpin tertinggi sendiri memiliki beberapa tambang di Halmahera sehingga menjadi gerbang bagi investasi asing bercokol. Menurut John Stott, penyebab utama krisis ekologi adalah keserakahan manusia (greed) dan transformasi manusia dari makhluk yang membutuhkan menjadi makhluk yang serakah (a needy being menjadi a greedy being), yang mendorong eksploitasi alam untuk kepuasan materialistik dan sesaat, bukan sekadar memenuhi kebutuhan, sehingga gagal dalam tugasnya memelihara ciptaan. Kemudian kita geser sedikit di Mangoli, terdapat 10 izin usahan pertambangan disana. dan kalau tambang sampai beroperasi maka nasib serupa akan dirasakan sama persis dengan masyarakat Halmahera.
Lepas dari semua itu, ada sekitar 35.000 hingga 38.000 anak tidak dapat pendidikan formal, hal ini disebabkan akses yang tidak terjangkau dan Biyayah begitu mahal. Padahal kekayaan alam begitu melimpah, sayangnya tidak mampu dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah untuk rakyat. Mereka lebih mementingkan oligarki dan korporasi. Irwan Akib (Muhammadiyah): Menyatakan bahwa jika ingin bangsa maju dan berdaulat, maka pendidikan harus menjadi prioritas utama yang didesain secara holistik.
Tolak ukur suatu bangsa yang besar bukan dilihat dari seberapa banyak tambang yang beroperasi, akan tetapi dilihat seberapa banyak anak-anak yang mendapat pendidikan yang layak. Karena generasi muda menjadi tongkat estafek kemajuan bangsa. Hal serupa juga dikatan oleh seorang Tokoh dunia Nelson Mandela menyatakan bahwa pendidikan adalah "senjata paling mematikan" di dunia karena melaluinya manusia memiliki kekuatan untuk mengubah tatanan dunia menjadi lebih baik.
Lantas bagimana bisa gubernur Maluku Utara mengatakan bahwa masyarakat Maluku Utara hidup makmur dengan kenaikan ekonomi. Pikiran sinting yang dibangun oleh pemerintah Maluku Utara sekarang. Saya coba meminjam pikirnya Al-Farabi dalam membagi pemerintah menjadi beberapa jenis yang tidak ideal, seperti pemerintah yang mengejar kehormatan saja atau pemerintah yang hanya mengejar kekayaan. Pemerintah Maluku Utara sekarang hanya mengejar kehormatan semata. Pencitraan dimedia sosial begitu masif, mereka terus-terus mengais validasi semata. Namun dibelakang layar terdapat duka mendalam yang hingga hari ini belum terobati. Data terkini Maluku Utara terdapat 121 Izin Usaha Pertambangan (IUP), yang mencakup 651.542 hektar lahan. Dampak dari bertambahnya IUP akan menambah eksploitasi hutan secara besar-besaran.
Menyedihkan negara seolah-olah menutup mata. Pemerintah dan swasta harus mempertanggungjawabkan semua atas kerusakan telah dilakukan oleh Pertambangan setempat. Ironisnya lagi aparat kepolisian membeking aktivitas tambang, mereka lebih berpihak pada korporasi dibandingkan rakyat sendiri. Sebagai aparat yang melayani dan mengayomi masyarakat, seharusnya memperlihatkan citra baik bahwa keamanan itu independen dan adil, bukan malah belok kiri, angkat senjata menembak rakyat.
Sagea, Teluk weda, perairan buli penopang sumber air masyarakat setempat, kini sungai-sungai yang ada telah berubah menjadi segudang racun. Pembuangan limbah tambang sembarangan mengakibatkan ikan-ikan terkontaminasi dengan zat besi. Bukan hanya ikan tumbuhan, warga juga mengalami hal serupa. Disamping itu, terlihat mulut pantai telah menyoklat, air sungai tercemar, seketika hujan besar tiba disusun dengan banjir banda akan bercampur lumpur meratakan pemukiman warga. Jika terus diberikan Izin Usahan Pertambangan (IUP) yakin dan percaya 10-20 tahun kedepan Maluku Utara akan mengalami krisis ekologi ecara besar-besaran. Warga akan terus-terus dibungkus dengan asap industri, diberi makan dengan hasil alam yang sudah terkontaminasi zat kimia. Belum lagi aktivitas Tani akan hilang, jaring-Jaring nelayan juga tidak memiliki fungsi, karena laut telah tercemar.
.png)