
Oleh: Muhajirin Umasangaji
Opini, Wartrepublik.com - Tanpa sadar masyarakat Maluku Utara telah dibawah kendali Gubernur Maluku Utara. Dengan menggunakan instrumen media sosial, ia berupaya melakukan pencitraan agar terlihat seperti kaum sosialis, naasnya ia adalah bagian dari kapitalisme Indonesia dengan memiliki berbagai macam saham industri pertambangan di Halmahera dan juga di pulau Morotai. Berbagai aliran tambang yang dimilikinya salah satunya PT. Karya Wijaya dengan saham 71%. Dibalik wajahnya yang teduh dan ramah ia memang kunci pintu masuk investasi.
Belum lagi bentrokan bumi putra dengan korporasi terus-terusan terjadi. Lantas mengapa setiap perlawanan masyarakat tidak terealisasi dengan baik?. Dalam membaca kondisi gerakan masyarakat hari ini saya coba menggunakan pikirannya Antoni Gramsci:
Antonio Gramsci, seorang pemikir Marxis, mengenalkan konsep hegemoni budaya, yang menjelaskan bagaimana kelas penguasa guasa tidak hanya mengendalikan masyarakat melalui kekuatan fisik, tetapi juga melalui kendali atas kesadaran dan nilai-nilai. Hegemoni bekerja dengan membuat norma dan aturan yang menguntungkan elite tampak wajar, alami, dan tidak dapat dihindari. Melalui pendidikan, media, dan agama, nilai-nilai ini ditanamkan sehingga kaum tertindas menerima status quo sebagai sesuatu yang "sudah seharusnya".
Agama sebagai Penguatan Status Quo Banyak ajaran agama menekankan kesabaran, ketundukan, dan penerimaan terhadap keadaan hidup sebagai bagian dari rencana ilahi. Dalam sejarah, banyak rezim otoriter menggunakan agama untuk menanamkan gagasan bahwa penderitaan di dunia adalah ujian yang akan mendapat ganjaran di akhirat. Dengan demikian, perjuangan untuk perubahan sosial sering kali dianggap bertentangan dengan nilai-nilai religius.
Pendidikan dan Sosialisasi - Sistem pendidikan sering kali dirancang untuk melanggengkan struktur sosial yang ada. Sejak kecil, masyarakat diajarkan untuk menerima otoritas, menaati aturan, dan percaya bahwa sukses adalah hasil kerja keras individu semata. Pendidikan jarang mendorong siswa untuk mempertanyakan sistem atau memahami dinamika kekuasaan.
Media sebagai Sarana Pengalihan Perhatian -Media massa berperan besar dalam mengalihkan perhatian masyarakat dari ketimpangan yang mereka alami. Tayangan hiburan, berita yang dikendalikan oleh pemilik modal, dan narasi yang menekankan individualisme membuat masyarakat lebih sibuk dengan urusan pribadi daripada memikirkan ketidakadilan sistemik. Media juga sering menggambarkan protes atau perlawanan sebagai tindakan kriminal atau tidak berguna, sehingga masyarakat lebih memilih pasif.
Ketakutan terhadap Perubahan dan Represi:
Meskipun ada kesadaran mengenai ketimpangan, perlawanan sering kali dihambat oleh rasa takut. Sejarah mencatat bahwa banyak gerakan perlawanan mengalami represi brutal. Para pemimpin protes ditangkap, diintimidasi, atau bahkan dibunuh. Ketakutan ini membuat banyak orang memilih diam daripada menghadapi risiko yang besar. Selain itu, ketidakpastian yang menyertai perubahan juga membuat banyak orang ragu untuk melawan. Sistem yang buruk namun stabil sering kali lebih menarik daripada ketidakpastian akibat revolusi atau perubahan drastis. Dengan kata lain, banyak kaum tertindas yang merasa lebih dalam keterbatasan yang sudah mereka kenal daripada mengambil risiko untuk sesuatu yang belum pasti.
Jangan heran jika hari setiap gerakan yang dibangun oleh masyarakat selalu tidak masif, karena penguasa memiliki benteng pertahanan yang kokoh yaitu dengan mengendalikan militerisme sebagai tamengnya. Sehingga masyarakat selalu diintimidasi, diskriminasi, dan dikriminalisasi. Terbukti dengan gerakan yang dibangun oleh masyarakat Maba Sangaji. Belum lagi gerakan-gerakan lainnya.
Program:
Program yang disodorkan oleh Sherly Tjoanda juga menjadi kontroversi, pasalnya setiap program kerap kali bertentangan dengan kepentingan masyarakat, dan lebih merujuk pada kepentingan korporasi.
Sekarang lagi hangat-hangatnya perbincangan jalan trans kie raha. Jalan ini menghubungkan Sofifi–Ekor–Kobe–Weda. Kalau dilihat jalan tersebut tidak merujuk pada kepentingan masyarakat seperti diedarkan pada media-media yang meromantiskan program Sherly Tjoanda tanpa disaring. Apakah jalan tersebut memudahkan pasokan logistik lebih cepat atau membuat pengangkutan material tambang lebih mudah?
Output yang pertama kita dapat ialah kerusakan alam dikarenakan jalan trans kie raha akan membelah hutan dari Sofifi menuju Kabupaten Halmahera Tengah ,Padahal dilain sisi Maluku Utara sudah kehilangan ribuan hektar hutan, semestinya Sherly Tjoanda dan antek-anteknya mempertimbangkan proyek pekerjaan jalan trans kie raha secara alami (alam akan rusak lagi).
Belum lagi dampak ekonomi yang akan dirasakan oleh bumi putra (pedangan) yang sebelumnya mengandalkan arus lalu lintas sebagai sumber pemasukan ekonomi mereka. Hal itu juga dipertimbangkan.
Tidak henti disitu saja, Baru-baru ini Masyarakat dan buruh dikejutkan dengan kenaikan upah 2%. Ditengah-tengah kepungan industri pertambangan, Sherly Tjoanda mengambil tindakan yang tidak memiliki nilai keadilan sedikit pun. Semestinya dengan banyaknya investasi, kebijakan kenaikan harus sesuai dengan semangat konstitusi serta putusan Mahkamah Konstitusi (MK), bukan malah sebaliknya.
Kebijakan 2% kenaikan upah buruh merupakan strategi untuk mengendalikan para buruh agar mereka merasa diperhatikan, akan tetapi dilihat lagi dengan banyak industri pertambangan kenaikan tersebut tidak selaras. Kalau kita pakai pikirannya Karl Marx dalam melihat problematis tersebut maka akan kita temukan satu konsep yaitu kesadaran palsu (false consciousness), yaitu keadaan di mana kaum buruh atau kelas bawah tidak menyadari kepentingan sejati mereka karena mereka telah dikondisikan untuk melihat dunia dari perspektif kelas penguasa. Dengan kata lain, mereka tidak melawan bukan karena mereka tidak bisa, tetapi karena mereka tidak merasa perlu untuk melawan. Mereka percaya bahwa sistem yang ada adalah yang terbaik atau setidaknya satu-satunya kemungkinan.
Untuk mengeluarkan diri dari belengguh sistem imperialisme perlu adanya kesadaran politik dari kelas menengah dan kelas bawah. Agar setiap ketimpangan kebijakan bisa disaring tanpa ditelan mentah-mentah. Karena ketika masyarakat buruh telah memiliki kesadaran, maka akan masif perlawanan, tetapi lebih karena kesadaran mereka telah dibentuk oleh ideologi dan hegemoni kekuasaan Sherly Tjoanda. Hegemoni bekerja dengan menjadikan ketimpangan tampak wajar, sementara ideologi menciptakan kepatuhan melalui agama, pendidikan dan media. Ketakutan terhadap represi dan ketidakpastian perubahan juga memperkuat pasifisme di kalangan masyarakat tertindas. Namun, perubahan tetap mungkin terjadi jika kesadaran kritis dapat dibangkitkan. Oleh karena itu, tantangan terbesar bukan hanya mengatasi kemiskinan, tetapi membebaskan kesadaran dari belenggu ideologi yang mengekang.
.png)