SULA, Wartarepublik.com – Praktik pengelolaan tenaga kerja di sektor industri kayu kembali menuai sorotan. Pasalnya, PT. Mangoli Timber Produsen (PT-MTP) di Desa Falabisahaya, Kecamatan Mangoli Utara Kabupaten Kepulauan Sula diduga mempekerjakan pekerja dengan status “mitra”, meski dalam praktiknya para pekerja menjalankan fungsi layaknya karyawan tetap.
Sorotan itu disampaikan Fadli Wambes, S.H, praktisi hukum di Maluku Utara. Ia menilai, skema kemitraan yang diterapkan PT. MTP tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan, karena para pekerja bekerja di bawah perintah, pengawasan, dan kendali perusahaan, namun tidak memperoleh hak normatif sebagaimana pekerja pada umumnya.
“Jelas tindakan PT. MTP ini melanggar UU Nomor 20 Tahun 2008 pasal 1 angka 13 tentang UMKM. Karena status kemitraan adalah hubungan perdata yang setara. (equal partnership). Tidak ada atasan-bawahan, tidak ada jam kerja yang mengikat, dan tidak ada ketergantungan ekonomi sepihak,” ujar Fadli, Minggu (28/12/2025).
Namun fakta di lapangan, kata Fadli, para pekerja yang diklaim sebagai mitra justru tidak memiliki kebebasan usaha, sepenuhnya bergantung pada perusahaan, serta terikat struktur kerja yang subordinatif. Kondisi ini, menurutnya, tidak dapat dikualifikasikan sebagai hubungan kemitraan.
Fadli menegaskan, Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 secara jelas mengatur bahwa hubungan kerja harus didasarkan pada perjanjian kerja yang sah, baik Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) maupun Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
“Status mitra yang diterapkan PT. MTP itu bertentangan dengan Pasal 1 angka 15 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ini adalah bentuk penyamaran hubungan kerja atau disguised employment relationship,” tegasnya.
Ia menilai, perubahan status pekerja outsourcing menjadi mitra diduga sebagai upaya perusahaan menghindari kewajiban hukum, seperti pembayaran upah sesuai Upah Minimum Provinsi (UMP) Maluku Utara, kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan, perlindungan keselamatan kerja, serta jaminan kesejahteraan lainnya.
“PT. MTP mempekerjakan warga Kepulauan Sula dengan beban kerja tinggi, namun upahnya tidak sesuai UMP. Ini pelanggaran hukum dan bentuk sabotase hak pekerja,” kata Fadli.
Tak hanya soal status kerja, PT. MTP juga disebut melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap sejumlah pekerja tanpa memberikan pesangon, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Karena itu, Fadli menegaskan, kasus ini harus menjadi perhatian serius pemerintah daerah. Ia mendesak Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kabupaten Kepulauan Sula untuk segera mengambil langkah tegas.
“Ini persoalan serius. Status mitra yang disalahgunakan dan hak pekerja yang diabaikan merupakan pelanggaran hukum dan kejahatan yang dilakukan secara sistematis,” pungkasnya.
.png)