Oleh: Sahib Munawar, S.Pd,I.M.,Pd
OPINI, Wartarepublika.com - Tulisan yang berjudul" curhat intelektual murahan: kritik membatalkan dirinya sendiri " Tulisan ini di alamatkan kepada saya dengan judul " Kontradiksi retorika murahan dan playing victim terhadap benturan pemikiran/ nilai" Dengan menunduh hanya berputar putar pada kalimat difference oleh istilah deridda yang kehilangan makna, tanpa penjelasan.
Justru ini menandakan bahwa : Ia gagal paham atau pura-pura paham apa yang saya maksud. Ketidakmampuan dalam memahami sebuah pesan lewat teks, sebab memahami beda dengan menafsirkan atau interpretasikan, aktivitas memahami tidak dengan menafsirkan, menafsirkan telah dipagari dengan metode dan kedisiplinan tertentu, kemampuan seorang penafsir tidak perlu dimiliki oleh seorang yang ingin memahami, karena konsep memahami lebih luas dari pada menafsirkan.
Menjadi pertanyaan, apakah ia yang menuduh itu sebagai seorang penafsir? Atau seorang yang gagal paham?
Memahami” dapat diartikan sebagai suatu proses menangkap makna atau maksud dari suatu teks, maka disini Friedrich Schleiermacher menyatakan bahwa kita perlu membedakan dua macam memahami terlebih dahulu, yaitu “memahami secara spontan dan memahami dengan upaya untuk memahami. Seperti saya pernah katakan " kejahatan intelektual" Yaitu Pelagiat atau bahasa yang mudah dipahami mencuri karya orang lain ( copy paste) " Menulis opini dengan cara melihat yang ada di isi buku ketimbang isi pikiran, ibarat punya kepala tapi tidak punya otak untuk berpikir, apalagi menganalisis sesuatu, gaya menulisnya lebih banyak mengutip parah pemikir filsuf, dan isi buku, supaya dibilang pegiat. Pegiat macam apa ini? Maka kalimat yang pas adalah imitator, lebih baik dari kalkulator yang lebih matematik, tanpa menunjukkan pemikiran kritisnya sendiri, hanya menempelkan ide orang lain entah itu tokoh-tokoh filsuf dan sebagainya, tanpa pemahaman mendalam dan kontribusi yang orisinal.
mencuri gagasan orang lain tanpa memberikan kredit adalah sebuah kejahatan intelektual yang sangat mengerikan dari pada Membumi hanguskan buku buku di perpustakaan, seperti persitiwa Bagdad yang dilakukan oleh Hulagu Khan dari Mongol, menghancurkan perpustakaan baitul hikmah.
Ia dengan hebatnya menuduh saya curhat intelektual dengan bercampur sakit hati atau glorifikasi, lantaran saya hanya menyatakan bahwa: diskursus soal teologi dan filsafat dan klaimnya gagal memahami mantiqul IsIam, secara empiris diskursus seperti ini saya sudah mendahuluinya 14/15 tahun silam, dengan nada sinis saya katakan sungguh hebatnya" ia klaimnya saya glorifikasi maka dengan anonim dari kata ini adalah degradasi yang buta atau dengan kata lain demonisasi secara simbolik, selanjutnya ia mau membongkar atas kerapuhan logika saya.
Maka saya juga bertanya dengan nada sinis.? Anda mau bongkar dengan apa? Membongkar dengan cara mengutip kutipan filsuf adalah bentuk kerapuhan akan makna, lebih parahnya lagi ia dengan mengutip kutipan filsuf lewat karyanya, tanpa analisis mendalam adalah bentuk kerapuhan logika (Logical fallacy) yang ia bangun sendiri, seperti Martin Heidegger dengan karyanya" Sein und Zeit atau Being and Time tentang filsafat yang menganalisis konsep Keberadaan wujud" tebal halamannya 512 yang diterjemahkan oleh "Joan Stambaugh" dan karya ini juga dibongkar oleh muridnya sendiri misalnya Max Scheler" Mengkritik analisis eksistensial Heidegger karena mencampuradukkan esensi dan eksistensi dalam tanda kutip "empirisme" serta pretensinya untuk memberikan penjelasan ontologis tentang eksistensi manusia tanpa dasar yang jelas.
Heidegger dengan konsep filsafat keberadaan wujud, tentang manusia lewat karya itu "Sein und Zeit"ada (being) tidak hanya sebagai subjek tapi juga objek yang memberikan makna dan mengalami keberadaan secara autentik. Maka orang yang klaimnya sebagai pegiat dan intlektual, tapi hanya sepotong-sepotong dan kapasitas analisis yang dangkalnya itu, seperti orang yang kehilangan bobot intlektualnya (ada tapi tidak dianggap ada)
Penulis itu mengklaim saya, terlalu termenung dalam nostalgia akademik dan gagal untuk beradaptasi dengan argumentasi saat ini! Klaim macam apa ini? Lebih ironinya lagi ia dengan kerapuhannya logikanya menyatakan bahwa" Filsafat tidak pernah hidup dengan romantisme masa lalu tapi mampu menghidupkan argument saat ini. Analog macam apain ini?
Romantisme dalam sejarah filsafat itu adaini: Bahkan mempengaruhi sampai saat ini, romantisme dalam sejarah filsafat dimulai pada abad 17-18 dan 19 sebagai serangkaian refleksi dan seni subjektivitas, sejarah, dan teori politik di Jerman dan inilah filosofi romantisme.
Perkembangan intelektual Jerman dimulai dengan dialog dengan Pencerahan Prancis oleh Lessing, Herder dan penerus mereka sebelum berubah menjadi refleksi pada orisinalitas ekspresi budaya dan Radikalisasi oleh Kant, Schelling atau Goethe, Pemikiran subyektivitas di mana estetika terkait erat dengan moralitas dan metafisika meliputi sastra, filsafat dan agama.
Jadi pernyataan anda filsafat tidak pernah hidup dari romantisme masa lalu adalah ngawur dan membosankan, anda gagal sebagai pegiat filsafat, karena menyebut nostalgia akademik masa lalu, anekdot macam apa ini?
Orang yang gagal paham seperti ini, jika di bawah ke ruang ruang dialektika akan membosankan, karena apa yang kita sampaikan, justru ia sendiri tidak memahami.
Tingkat tertinggi ilmu itu ialah gagal paham. Gagal paham ini lebih karena kesombongan. Karena merasa berilmu dan tidak mau lagi menerima illmu dari orang lain.
Ia merasa cukup dengan pendapatnya sendiri. Parahnya, ia tidak sadar pemahaman nya yang gagal itu jadi bahan ketawaan orang yang paham. Ia tetap dirinya bangga dengan kegagal pahamannya.
Saya teringat dengan apa yang dialami oleh Iman Syafi'i ketika berdebat dengan orang bodoh " Imam Syafi'i berkata":setiap kali aku berdebat dengan kelompok intlektual ( cendikiawan) aku selalu menang, tapi anehnya ketika aku berdebat dengan orang bodoh ( dungu) aku kalah tanpa daya.
Kisah ini sebagai metafor, ketika kita berhadapan dan berdebat dengan orang yang gagal paham yang membuat diskusi sering kali tidak nyambung ( bias).
Ia sendiri mengutip Nietzsche yang sebelumnya saya sudah pernah membacanya, tapi nantinya saya akan dibilang oleh penulis itu sebagai orang yang romantisme akademik masa lalu" Yaitu " usia tua hanya memperbanyak kebiasaan bukan kebijaksanaan, ini tentang pertumbuhan dan transformasi diri, sebenarnya kutipan ini bukan langsung dari Nietzsche melainkan refleksi dari pemikiran Karl Franklin, ide Nietzsche yang mendorong individu untuk terus berkembang, melampaui diri sendiri konsep Ubermensch.
Jika anda mengutip kutipan dari Nietzsche dan bahkan ini bukan dari Nietzsche, maka sebaiknya anda mentertawakan diri anda sendiri sebelum di tertawakan oleh Nietzsche, karena dianggap lemah. Meniru adalah tanda kemunduran dan ketiadaan kehendak untuk berkuasa.
Ia dengan bangga mengutip nama besar para filsuf hanya dijadikan pajangan ( display) untuk menarik perhatian dan minat konsumen, atau buku buku di wall display di kamar kosannya yang tidak bisa menampung diisi kepada. Seperti klaim dalam tulisannya tidak memahami kerangka epestemik hanya menempelkan stiker Filsafat diatas kaleng kosong " Klaim itu menjadi bumerang bagi dirinya sendiri tanpa ia sadari, ibarat punya tempurung kepada tanpa isi.
Sebagai catatan laki:
Sebagai pegiat filsafat dan kritikus, dalam tulisan yang penuh ambisius dan gagal paham layaknya di pamerkan di tempat klub-klub malam dan diskotik, promosi produk yang laris manis, ketimbang di ruang ruang yang penuh dialektika, seperti dikampus dan ruang terbuka, karena banyak peminat yang sunyi. Produk murahan layaknya dibuang di ranjang/ kontener sampah, mungkin juga kontener sampah juga akan menolak, kontener sampah hanya menerima sampah yang bisa didaur ulang.
Filsafat hanya “pajangan” pemikiran tanpa disertai pembacaan kritis. Filsafat seperti kehilangan konteks, karena di anggap sebagai warisan tradisi yang taken for granted( remeh) dan final terlepas dari konteks zamannya. Mempelajari filsafat hanya terperangkap dalam penjara penjara pemikiran para filsuf barat,
tanpa mengalami transformasi pemikiran dalam realitas sosial. Dan Filsafat
hanya menjadi alat analisis sosial bagi mereka yang disebut intelektual dan pegiat.
Hasan Hanafi pernah bilang bahwa Membaca, secara filsufis, adalah salah satu langkah dalam proses pembangunan kesadaran, baik kesadaran personal maupun kesadaran
sosial atau kesadaran internal maupun kesadaran eksternal.
Karena membaca adalah memahami. Dalam aktivitas
membaca bukan hanya melantunkan melainkan mengkaji, men dalami, mengidentifikasi dan menginterpretasi dalam orientasi
praksis. Maka dalam hal
ini yang notabene sebagai pegiat filsafat dan kritikus telah gagal paham.
Pegiat filsafat itu mengklaim saya sebagai intelektual gadungan di panggung dengan lampu padam, padahal frasa ini mencerminkan diri sendiri, tanpa sadar dengan memecahkan rekor terburuk sepanjang sejarah dengan limbah atau septictank penuh bau busuk.
Kata si pegiat filsafat itu, sebagai orang yang kritis tapi berakhir dengan krisis dan gagal paham. Ini adalah bentuk dari destruksi yang terendah. Katanya membongkar justru ia telah membongkar atas kerapuhannya sendiri. Maka Derrida menyatakan bahwa dekonstruksi sejatinya dapat dipahami sebagai sebuah peristiwa dalam pembacaan, maka ia menjadi suatu yang unik.
Sebelum mengakhiri tulisan gila ini atau kata si pegiat filsafat itu sebagai komedi. Saya terinspirasi dengan Kisah Mulla Shadra dengan Filsafat Al Hikmahnya" Pada waktu muda aku ingin mencari kepuasaan religius lewat pembuktian filsafat atas agama, tapi pada akhirnya aku mulai menyadari, bahwa pembuktian rasional yang formal tidak akan membawa seseorang dalam menangkap kebenaran yang sesungguhnya. Maka aku tengelam dalam samudera ilahi. Pengalaman itu seperti di alami oleh Imam Al-Ghazali.
Sekian tiada gading yang tak retak semoga bermanfaat. ( Sahib Munawar. S.Pd,I.M.,Pd)
.png)