Perempuan dan Asumsi, yang Ia Patahkan Tentang Rumah dan Pandangan Dunia -->

Header Menu

Perempuan dan Asumsi, yang Ia Patahkan Tentang Rumah dan Pandangan Dunia

Admin Redaksi
Thursday, 16 October 2025

Oleh: Faija Kabir, Pegiat Kaum Perempuan Bergerak.

OPINI, Wartarepublik.com - Tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Bagi sebagian orang, waktu selama itu cukup untuk memulai bayak hal, entah kuliah, bekerja atau bahkan membangun keluarga. Namun sebagai seorang perempuan muda yang memilih untuk menunda kuliah setelah lulus SMA, tiga tahun justru menjadi masa yang penuh makna. Tiga tahun bukan waktu yang singkat, tetapi juga bukan alasan untuk berhenti bermimpi. Di tahun itu banyak padangan datang bertubi-tubi: “Bakiapa tara kuliah?”, “Bakiapa Cuma di rumah?”, “Tara kerja?”. “Berarti tinggal tunggu laki- laki masuk minta saja” begitu kira kira suara yang sering ia dengar dari lingkungan sekitar.    

Ia mendengar semua itu. Ia menyerap setiap kata yang terlontar dari pandangan orang-orang di luar sana yang menganggap bahwa perempuan yang menetap di rumah hanyalah perempuan yang menunggu waktu untuk dinikahkan. Namun dalam diamnya, ia sedang menyiapkan sesuatu, sesuatu yang lebih besar dari sekadar jawaban. Ia sedang memupuk tekad untuk mematahkan semua asumsi yang mengekang perempuan atas nama tradisi dan kebiasaan lama “ Perempuan kalau tinggal di rumah berarti so siap nikah” 

Tahun 2022 datang sebagai titik balik dalam hidupnya. Tahun di mana ia akhirnya menapakkan kaki di dunia perkuliahan dunia yang selama ini hanya menjadi mimpi di dalam doanya. Bagi sebagian orang, mungkin hal biasa. Tetapi baginya, itu adalah bentuk perlawanan terhadap pandangan sempit yang sering melekat pada Perempuan: bahwa tinggal di rumah berarti tidak punya cita- cita. Kini, ia sedang menapaki jalan yang dulu hanya menjadi mimpi. Setiap hari di bangku kuliah menjadi bagian dari perjuangannya untuk mematahkan asumsi yang selama ini membatasi ruang gerak perempuan. Ia belajar bukan sekadar untuk mendapatkan gelar, tapi untuk membuktikan bahwa perempuan berhak menentukan masa depannya sendiri. 

Dan benar saja, pandangan itu mulai berubah. Mereka yang dahulu menatap dengan prasangka, kini justru memberi semangat. Ia membuktikan bahwa diamnya dulu bukan kelemahan, melainkan persiapan menuju sesuatu yang lebih besar. Melalui perjalanannya, ia ingin menyampaikan pesan kepada semua perempuan di luar sana: bahwa tidak apa-apa jika langkahmu terlambat dari orang lain, tidak apa-apa jika kamu memilih diam sejenak untuk memperbaiki arah, dan tidak apa-apa jika dunia belum memahami pilihanmu. Karena yang paling penting bukan bagaimana orang lain melihatmu, tetapi bagaimana kamu melihat dirimu sendiri. Rumah bukan penjara bagi mimpi, melainkan tempat di mana kekuatan itu tumbuh.

Perempuan bukan tentang menunggu kesempatan, tetapi menciptakannya. Dan dunia bukan tempat untuk menuruti asumsi, tetapi untuk mematahkan mereka dengan bukti.
Kini, ia terus berjuang menyelesaikan Pendidikannya. Ia adalah bukti nyata bahwa perempuan bisa, kapan pun dan di mana pun, selama ia percaya pada dirinya sendiri.